❄❄❄
"Janji itu sebuah labirin. Ketika kau sudah mengucapkannya, tidak ada jalan untukmu menariknya kembali."
-Justin Kaelan-
🎑🎑🎑
Pagi-pagi sekali Briana sudah bertandang ke kediaman Ellea. Gadis berkaca mata bulat itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena Ellea tidak membalas pesannya sama sekali. Meski Steve sudah berkata Ellea baik-baik saja, tetap saja ia merasa bersalah pada sahabatnya itu.
"Sedang apa kau di sini sepagi ini? Numpang sarapan?" Ellea duduk di seberang Briana di meja makan.
"Enak saja. Ini aku bantu Bi Sumi kok." Briana mengelak. "Kamu jahat, sih! Tidak membalas pesan-pesanku."
"Bantuin prepare piring maksudmu? Tidang mungkin juga kamu membantu Bi Sumi." Ellea memang tak bisa marah lebih lama pada Briana. Namun, tetap saja yang dilakukan dua pasangan baru itu membuatnya kesal.
Briana terkekeh. "Aku tidak bisa, ya, menipumu dikit saja? Sebagai permintaan maaf, mungkin?"
Ellea hanya tidak habis pikir, mengapa Briana dan Steve membiarkannya berdua bersama Jayden. Mereka tidak tahu betapa Ellea memendam rasa kesalnya setiap kali berhadapan dengan makhluk berwajah tembok itu. Bahkan Ellea tidak yakin jika Jayden adalah manusia. Pikirannya mengatakan jika pria itu adalah alien yang kebetulan menyamar menjadi manusia.
"Hanya jangan lakukan hal kayak gitu lagi. Kau tidak tahu seberapa kesal saat kalian sengaja meninggalkanku berdua bersama spesies itu." Ellea mulai memakan sarapannya dengan tenang.
"Iya, maaf. Kupikir dengan itu kalian bisa berinteraksi layaknya teman. Melihat dari cara Jayden sudah mau berdeketan denganmu." Briana memandang Ellea dengan raut menyesal. Ia hanya tidak menyangka rencananya bersama Steve akan berakhir mengecewakan.
"Sudahlah, aku tidak mau membahas itu." Ellea meneguk jus jeruknya hingga tandas. "Ayo berangkat. Aku ada janji dengan klien jam sembilan."
Setelah acara sarapan kilat itu selesai. Mereka berangkat menggunakan mobil masing-masing. Briana pergi ke galerinya, sementara Ellea harus mempersiapkan berkas-berkasnya yang berada di kantornya. Mereka berpisah di pertigaan lampu merah dekat kompleks perumahan Ellea dan berjanji akan makan siang bersama hari ini.
Ellea bersyukur, pagi ini Jakarta tidak sepadat biasanya. Meski ibukota sudah dipindahkan ke wilayah yang mayoritas dikelilingi oleh hutan, aktivitas kota Batavia tetaplah sama. Macet, polusi, bising dan indivualis. Ya, pada bagian terakhir itu memang trademark sebuah kota besar, bukan? Jika kau ingin beramah tamah dan saling bertukar salam hormat, kau tidak akan menemukannya di sini. Semua yang ada di metropolitan ini saling berlomba. Menunjukkan siapa yang paling kuat untuk bertahan hidup. Menggunakan hukum rimba; siapa yang kuat, dialah yang mampu bertahan.
Ellea pun tak jauh berbeda. Gadis yang masih betah dengan kesendiriannya itu asli penduduk Jakarta. Masa kecilnya layaknya anak metropolitan pada umumnya. Lebih banyak menghabiskan waktu bermainnya di dalam ruangan. Menjadi anak satu-satunya dari keluarga Smith membuatnya kesepian. Ia ingat ketika masih berumur tujuh tahun, ia meminta adik pada ibunya dan sang ibu hanya tersenyum mengiyakan. Meski sampai saat ini ia tidak memilikinya, ia tetap bahagia. Kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya tak perlu dipertanyakan lagi.
30 menit kemudian, ia sampai di kantornya. Sebuah bangunan berlantai dua, tempat ia melakukan pekerjaannya bersama teman-temannya. Ellea tak pernah menganggap mereka bawahan. Ia lebih nyaman jika bekerja tanpa sekat yang bisa membuat satu sama lain merasa canggung. Namun, tetap saja mereka menghormati Ellea sebagai pimpinan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Masquerade
RomanceEllea Prisa menganggap seorang Jayden Park adalah lelaki berwajah datar tanpa ekspresi yang harus dijauhi. Bukan karena takut jatuh cinta, melainkan karena pria itu sama berbahayanya dengan dirinya. Baginya, makhluk hidup berjenis kelamin 'laki-laki...