20. A Night With

252 23 15
                                        

"Menangis bukan pilihan, melainkan sebuah cara untuk meletakkan setiap jenis emosi pada tempatnya. Menangis juga bukan kelemahan, ia adalah ruang untukmu berbagi dengan diri sendiri."

- Jayden Park -

🌺🌺🌺

Berkencan dengan wanita adalah hal yang tidak akan dilakukan seorang Jayden Park. Cukup sekali ia melakukan dan harus berakhir miris. Dua wanita yang sangat berharga dalam hidupnya menjadi orang yang paling menyakitinya. Jayden sungguh tidak mengerti cara kerja dunia. Ibu yang dulunya hangat dan penuh kasih, berubah menjadi kasar dan tidak lagi peduli padanya. Bagaimana bisa anak tujuh tahun sepertinya harus menyaksikan adegan tidak pantas antara ibu dan pria lain yang bukan ayahnya? Di depan matanya dan di rumahnya sendiri? Jayden kecil tidak paham jika saat itu rumah tangga kedua orangtuanya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mereka memang jarang berkumpul bersama sejak Lucas, sang ayah, terlalu larut dalam pekerjaannya. 

Jayden kecil menceritakan apa yang dia tahu pada Justin, sosok yang sudah dianggap kakak olehnya. Justin terkejut dan meminta Jayden untuk tidak mengatakan hal itu pada siapapun, termasuk sang ayah. Justin berharap, apa yang diperbuat ibu Jayden akan berhenti seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, pada suatu sore, Jayden menelponnya dan mengatakan jika sang ibu sedang mengonsumsi serbuk yang ia sendiri tak tahu itu apa bersama pria yang sama. Berdua di ruang tamu seolah rumah itu tidak ada siapapun. Jayden melihat semuanya dari lantai dua dan dia semakin kecewa saat sang ibu membentaknya di depan pria itu. Menyuruhnya pergi dan tidak boleh memberi tahukan siapapun tentang apa yang ia lihat dan dengar saat itu. Jayden mulai memahami arti luka dan itu adalah awalnya.

Suara erangan mengembalikan kesadaran Jayden. Ellea mengerjap pelan, mengumpulkan kesadarannya sejenak. Pemandangan pertama adalah langit-langit kamar yang nampak asing. Lalu, wanita itu mengedarkan pandangan ke sisi kanan. Ruangan bernuansa abu-abu dan berbau maskulin mengusik ketenangannya.

Ellea duduk dengan tegak. Kejadian beberapa waktu lalu menyerang memorinya. Jantung Ellea kembali bertalu. Ia mengingat semua kejadian itu dengan perasaan berkecamuk. Marah, takut dan menyesali kebodohannya menjadi satu. Ellea tidak tahu mana yang mendominasi. Yang ia tahu, saat ini dia membutuhkan sesuatu atau seseorang untuk memberinya ketenangan. Napasnya masih naik turun. Kedua tangannya masih mengepal di sisi tubuhnya. Perlahan, tubuhnya bersandar pada kepala ranjang, menutup matanya dan meredam gejolak ingin menangis akibat tidak kuasa menahan emosi yang bercampur aduk menguasai dirinya.

Satu nama muncul dalam kepalanya. "Jayden," lirihnya.

"Hmm."

Ellea membuka mata. Menoleh pada sumber suara. Di sofa dekat jendela, ia menemukan pria itu. Sosok yang sudah menyelamatkannya secara tidak langsung. Ia duduk tenang seraya menatap Ellea. "K-kau? Sejak kapan kau di situ?"

Jayden menghela napas, berjalan ke arah ranjang. "Sejak kau tidur seperti mayat."

Ellea mencebik. Dia tidak sadar jika berada satu ruangan bersama pria itu. Salahnya yang tidak memerhatikan sisi kiri kamar itu karena ingatan kejadian menegangkan itu lebih dulu memenuhi kepalanya. "Aku di mana?"

Ellea mencoba tidak mengundang rasa kesal pria itu. Jayden akan semakin menjadi jika Ellea memulainya lebih dulu. Dan kali ini, ia akan mengalah, sesuai janjinya pada Tuhan. Ellea akan berusaha untuk bersikap baik pada pria menyebalkan itu dan ... berhenti melakukan permainan itu.

"Apartemen." Jayden memerhatikan Ellea, meletakkan telapak tangannya pada dahi Ellea. "Sudah turun, mau minum?"

Perlakuan Jayden membuat Ellea cukup terkejut. Namun, dia memilih bungkam. "Boleh."

MasqueradeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang