- Sakit, tapi juga bahagia.
Bertemu kamu adalah sesuatu di luar nalar.
Sesak, sekaligus candu.
Bersama kamu adalah rasa yang tak bisa dijelaskan.-- May -
*****
Razi berjalan kembali menuju kamar rawat inap Winda. Dari luar pintu kamar, samar-samar ia mendengar suara beberapa wanita saling tertawa. Sepertinya penghuni kamar itu bukan lagi sekedar umminya dan Asha. Razi menebak penuh harap, sekaligus bersiap-siap kecewa. Tangannya menyentuh gagang pintu.Sesaat ia terpaku karena ternyata yang ditebak pikirannya tadi benar. Maira sedang berdiri di sana bersama seorang wanita lainnya. Razi juga ingat wajah wanita lainnya itu.
Maira menoleh padanya. Senyum lebar yang dulu pernah menggetarkan hatinya, surut. Wanita itu kembali datar, lalu melengos. Razi menarik napas dalam lalu menghembus perlahan. Matanya beralih ke Asha yang langsung menyapanya.
"Kak, lihat nih siapa yang datang? Panjang umur ya, baru juga tadi diomongin."
Tersenyum dingin, Razi berjalan menuju sofa.
Maira melirik sebal. Berbagai jenis emosi sisa ampas masa lalu kembali menumpuk. Ia terus-terusan meyakinkan diri jika tujuannya datang hanya untuk membesuk Winda, tidak lebih. Anehnya, hatinya susah diajak kerjasama. Ada rasa yang entah apa namanya, berdesir halus di dada saat membalas tatapan intens pria itu.
"Hai, Kak Aji! Apa kabar? Masih inget nggak sama aku?" Maira melotot pada Ruri yang mendadak sok ramah. Padahal tadi sahabatnya itu sudah janji untuk tutup mulut.
"Kamu ... Ruri, kan? Yang waktu itu —"
"Eh, i—iya aku Ruri. Yang dari dulu suka ke kantin bareng May. Hehe, ternyata masih inget ya. Kirain sudah lupa," potong Ruri disertai cengiran aneh.
Pupil Maira kembali melebar. Menatap Ruri setajam silet.
"Jadi, kalian semua satu SMA 'tho dulu." Winda mengangguk paham. Sepertinya ia sudah bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara putranya dan calon mantunya.
"Iya, Tante. Dulu, Kak Aji ini kakak kelas kita. Waktu kita kelas sepuluh, Kak Aji kelas dua belas," jelas Ruri gamblang.
Tapi sedetik kemudian, "Aawww!"
Cubitan kecil mengigit kulit lengannya. Ruri meringis pedih lalu balas melotot pada sang pelaku yang berdiri di sebelahnya. "May!"
Razi lebih tenang dan santai. Sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dari di restoran tadi siang. Ia membolak-balik halaman majalah fashion yang baru saja diambilnya dari atas meja. Sepertinya milik Asha.
"Dulu, waktu Razi lulus SMP, Tante sekeluarga pindah ke Semarang. Ngikut Om Irwin yang pindah tugas kesana. Tapi waktu itu Razi nggak mau ikut pindah. Mau nerusin SMA di Jakarta katanya. Akhirnya, Tante titipin Razi buat tinggal sama Om Gagas dan keluarganya di Jakarta." Winda bercerita.
"Iya, waktu itu kita sempat pisah tiga tahun sama Kak Razi. Untungnya setiap liburan, Kak Razi pulang ke Semarang. Jadi, kangennya Ummi terobati deh. Kalo nggak ada Kak Razi, Ummi suka senewen," lanjut Asha antusias.
Tapi Winda menepuk pelan putrinya itu. "Yang kayak gitu nggak usah diceritain 'tho, Nduk. Ummi malu."
Asha tertawa kecil melihat wajah merona umminya.
"Oh ya, Tante boleh nanya nggak?" Winda menatap calon mantunya teduh. "Memangnya dulu antara Maira dengan Razi pernah ada kejadian apa? Kok tadi pas ketemu kayak Tom ketemu Jerry?"
KAMU SEDANG MEMBACA
May & Aji || #wattys2019 (Completed)
RomanceArsan Fahrurazi, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo lagi. Nggak akan! (Maira) Tapi ... (suara kaset rusak) ... benarkah begitu? Dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa yang tertinggal itu masih di sana, berlonjakan setiap kali pria i...