"Mas, ini ... kita mau kemana? Perasaan jalan ke rumah kamu bukan ke arah sini." Maira mengedar pandangan ke rute yang sedang mereka lewati.Setelah menunggu Razi menyelesaikan pekerjaannya, Maira dan Razi berkunjung ke rumah orangtua Maira. Melepas rindu dengan keluarga yang terakhir ditemuinya dua bulan yang lalu saat ijab kabulnya yang kedua berlangsung. Keduanya tidak terlalu lama bertamu di sana. Hanya sejam saja. Selesai makan malam bersama, keduanya pamit pulang. Untung saja kali ini sang bunda tidak memaksa mereka untuk menginap di rumahnya. Meskipun Fita dan Farhan masih ingin menghabiskan waktu bersama sang putri kesayangan, namun kini mereka semakin menyadari, ada seseorang yang lebih berhak atas kehadiran Maira di Jakarta, yaitu suaminya.
"Ke rumah kita, Sayang." Razi mengumbar senyum di belakang kemudi. Tidak hanya Maira saja yang bisa memberikan kejutan baginya. Ia pun punya kejutan tersendiri bagi istrinya itu.
"Tapi ... ini kan — kan bukan lewat sini jalannya." Maira semakin bingung. Hingga akhirnya Razi menghentikan mobil tepat di depan sebuah rumah berpagar hitam dengan halaman yang cukup luas ditumbuhi sebuah pohon cempaka di sudutnya dan bangunan rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumah yang mereka tempati sebelumnya.
"Mas, ini rumah siapa?" Maira menoleh ke samping dengan wajah mengkerut.
"Rumah kita, Sayang." Razi menggenggam tangan Maira dengan lembut.
"Hah? Kamu becanda?" Kini Maira melebarkan matanya. Menatap tak percaya pada rumah yang menurutnya besar itu.
"Serius. Kamu suka rumahnya?"
"Terus rumah lama kamu?"
Razi tak langsung menjawab. Tatapannya menyiratkan sedikit rasa khawatir.
"Mas?"
Razi menghembuskan napas perlahan. Genggaman tangannya semakin dieratkan, seolah berusaha mencari kekuatan di sana.
"Mmm ... rumah itu ... aku berikan untuk Al dan Sarah." Razi memicingkan sebelah matanya setelah menjawab dengan ragu.
"Ooooh. Baguslah. Daripada kamu jual," balas Maira dengan sebuah senyuman lega, yang justru membuat Razi kaget melihatnya.
"Ka—kamu nggak marah?" tanyanya dengan terperangah.
"Marah? Emang kenapa aku mesti marah?"
"Y—ya karena ... aku ngasih rumah itu untuk Al. Aku cuma ..."
Maira balik menggenggam erat tangan Razi yang terasa dingin. "Iya, aku ngerti, kok. Kamu ingin memastikan mereka dalam kondisi baik-baik saja. Aku juga tau kok, rumah yang Al tempati dulu itu statusnya masih ngontrak, kan? Kalo begini kan lebih baik, mereka punya rumah tinggal sendiri. Sejujurnya ... sebenarnya aku kepikiran juga pas tau kamu sudah pisah sama Al. Dalam kondisinya yang seperti itu, punya tanggungan anak, harus jadi single-fighter lagi, aku juga nggak tega."
Razi menatap Maira lekat, mengisyaratkan cinta yang dalam untuk sang belahan hati. Sungguh, umminya benar-benar tak salah dalam memilih menantu.
"Kamu kenapa sih ngeliatin aku gitu? Risih, ah!" Maira menghindari tatapan itu. Tatapan yang langganan membuatnya salah tingkah. Tangannya ditarik keluar dari genggaman Razi.
"Ummi nggak salah sudah menjodohkan aku sama kamu."
"Yeee ... kamu aja yang dulu sok nolak-nolak." Maira mendengus kesal.
"Kalo dulu aku nggak nolak kamu, belum tentu juga jalannya kita begini."
"Ya kalo emang udah suratan takdir sih, kalo emang jodoh ya jodoh aja. Mau gimanapun jalannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
May & Aji || #wattys2019 (Completed)
RomansArsan Fahrurazi, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo lagi. Nggak akan! (Maira) Tapi ... (suara kaset rusak) ... benarkah begitu? Dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa yang tertinggal itu masih di sana, berlonjakan setiap kali pria i...