21. Dia Suamiku

4.5K 312 8
                                    

- Aku memang telah salah.
Ini saatnya aku mengalah
Dan kini aku terlalu lelah
Apakah saatnya aku menyerah? -

- Alma -

*****


Tangis Maira merebak di luar ruang ICU. Sudah 2 jam Alma masih belum sadarkan diri. Detak jantungnya tidak stabil. Akhirnya dokter memutuskan untuk menempatkannya kembali ke ruang ICU.

Maira tidak bisa mengendalikan perasaan sedihnya. Tangisnya meledak di dalam pelukan suaminya. Razi pun mendekapnya erat sambil mencoba menenangkan istrinya, meskipun perasaan Razi sendiri diliputi kecemasan luar biasa.

Mereka berdua pun memutuskan untuk menginap di rumah sakit, setidaknya sampai dokter memberikan penjelasan lebih lanjut atas kondisi Alma.

"Mas, ini salahku."

"Sssttt...bukan, Sayang. Ini bukan salahmu."

"Tapi...kalo tadi aku tidak membiarkannya berbicara panjang, mungkin..." Maira kembali terisak. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya.

"Sudah, sudah. Kita sholat Isya dulu, yuk. Sudah jam sepuluh malam. Sambil kita mendo'akan yang terbaik untuk Al."
ajak Razi dengan lembut sambil mengusap-usap punggung istrinya.

Maira yang masih penuh dengan kucuran air mata menganggukkan kepalanya lemah.

Razi dan Maira melaksanakan sholat Isya bersama di masjid rumah sakit. Baru kali ini Maira memanjatkan do'anya dengan khusyuk dan sungguh-sungguh untuk orang lain. Dengan meneteskan air mata, Maira memohon pada Sang Asy-Syaafi, Yang Maha Penyembuh agar memberikan keajaiban-Nya bagi Alma.

Razi memperhatikan kesungguhan istrinya itu dalam meminta kepada Sang Khalik. Hati istrinya ternyata sungguh mulia. Razi yakin, perlahan ia dapat membimbing istrinya menjadi pribadi yang lebih baik, bahkan untuk menutup auratnya. Andai saja mereka berdua benar-benar bisa menjalani biduk rumah tangga yang sesungguhnya. Saat ini yang ada di pikiran Razi hanyalah bagaimana cara membatalkan kontrak pernikahan mereka.

"Mas, besok aku harus masuk kerja. Ada bahan presentasi yang harus aku selesaikan di kantor. Siangnya aku juga ada rapat dengan Kepala Direktorat. Kamu gimana? Bisa cuti?" tanya Maira sambil merapikan mukena dan sajadah milik Masjid. Lalu mereka berdua melangkah keluar dari Masjid.

"Sepertinya nggak bisa, Sayang. Aku harus ke lapangan, terus menyelesaikan gambar bagian Al juga." jawab Razi sambil memutar otaknya. Tugas jaga mereka harus digantikan oleh seseorang. Tidak mungkin dengan kondisi Alma yang kritis seperti saat ini, tidak ada seorangpun yang menjaganya.

Maira pun ikut memutar otaknya. Beberapa detik kemudian, ia melebarkan matanya sambil tersenyum. Sebuah nama terlintas di pikirannya, "mas, gimana kalo minta tolong...Ruri aja? Dia juga 'kan sudah kenal dengan Al. Dia juga kerjanya nggak sibuk-sibuk amat kok. Kayaknya bisa kalo cuti."

"Bukannya sahabat kamu itu sedang hamil muda?" Razi mengingatkan.

"Iya siiih...tapi coba aku tanya dulu deh." Maira langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia membuka aplikasi whatsapp lalu mengetik pesan untuk Ruri. Tak berapa lama, Ruri membalas ketikannya. Untung saja sahabatnya itu belum tidur malam ini.

"Gimana?" tanya Razi penasaran setelah beberapa menit menatap istrinya sedang serius berbalas ketikan sambil berjalan.

"Yah...nggak bisa, Mas. Katanya nggak kuat. Lagi mual muntah terus. Emangnya kalo lagi hamil 'tuh lemes gitu ya bawaannya?" tanya Maira dengan polosnya.

"Aku 'kan nggak pernah hamil, Sayang. Kok nanyanya sama aku?" Razi tergelak tawa.

"Yeee, kali aja tau. Pantyliner aja kamu tau." cibir Maira dengan menjulurkan lidahnya.

May & Aji || #wattys2019 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang