Pagi ini, Maira telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Jika sebelumnya ia terbiasa mandiri, kemana-mana sendiri, bahkan belum pernah dalam sejarah hidupnya ia minta dijemput di manapun, tapi tidak kali ini. Hari ini ia meminta bantuan Malik untuk menjemputnya di bandara. Ada alasan dibalik permintaannya ini."Mbak bawa oleh-oleh buatku nggak?" tanya Malik sambil fokus mengendalikan kemudi mobil.
"Oleh-oleh apaan? Kamu juga udah ngerasain semua yang di sana," jawab Maira sembari menutup mulutnya yang tengah menguap. Padahal sebagian besar waktunya di udara dihabiskannya untuk tidur, tapi tetap saja kantuk itu masih terasa.
"Belum semua kali, Mbak. Aku belum nyoba gyokuro, natto, osechi, hanabiramochi, ta—"
"Udah, udah! Kamu malah bikin Mbak jadi tambah ngantuk. Berasa dengerin ceramah kalkulus."
"Emangnya aku dosen!"
"Bukannya kamu emang kepingin jadi dosen?" cibir Maira dengan santainya.
"Mungkin udah nggak," jawab Malik cepat.
"Hah?"
"Ehm ... Jadi ... kita langsung kesana, nih?" Malik memberi kode dengan matanya. Mengabaikan pembicaraan yang berlangsung beberapa detik yang lalu.
"Iya, aku mampir kesana dulu aja, deh! Kamu pulang duluan ke rumah. Nanti aku nyusul. Bilang sama ayah, bunda, aku kesana nanti malam sama Mas Aji."
"Meluncuuurrr!"
Malik langsung menjalankan mobil mini-van itu ke tempat yang dimaksud oleh kakaknya.
Seketika Maira teringat jika ponselnya masih dalam status pesawat. Gawai itu ia keluarkan dari saku cardigan-nya, lalu me-nonaktif-kan mode pesawat itu. Paket datanya langsung bekerja. Sudah hampir satu setengah tahun nomor itu tidak digunakannya. Maira hanya terus-menerus mengisi pulsa untuk mengaktifkan masa berlakunya. Nomor yang sebelumnya ia gunakan di Kyoto merupakan nomor dari provider di sana. Dan ia tidak akan menggunakan kembali nomor itu, selamanya.
Sudah hampir satu hari ia tidak berkomunikasi dengan suaminya. Mungkin saat ini suaminya sedang berpikiran yang aneh-aneh karena nomornya tidak dapat dihubungi. Maira memang sengaja tidak memberitahukan perihal kepulangannya ke Indonesia. Biarlah kepulangannya ini menjadi hadiah istimewa di hari ulang tahun Razi yang jatuh pada hari ini. Maira tersenyum sendiri membayangkan bagaimana kagetnya Razi saat melihat kehadirannya nanti.
Maira berkali-kali menguap. Kantuk itu benar-benar menguasai alam sadarnya, Maira tak sanggup melawan. Perlahan kedua matanya pun terpejam, menuruti keinginan matanya yang lelah.
"Mbak, mbak ... bangun! Udah sampe, nih!"
Maira yang merasa nyawanya masih berada di awang-awang, merasakan tubuhnya diguncang-guncang. Entah kenapa, rasanya berat untuk mengangkat kelopak mata yang masih enggan membuka itu.
"Mbaaak! Mbak Siomay, bangun!"
"Hmmm ..." Maira hanya mampu bergumam dengan mata masih terpejam.
"Ya ampuuun, jangan jadi kebo gini dong, Mbak! Biasanya juga gampang dibangunin."
Melihat kakaknya yang tak kunjung membuka mata, Malik memikirkan satu cara ampuh untuk segera menyadarkan kakaknya itu.
Malik menarik napas dalam, lalu berteriak, "Mbak, mbak, mbaaak bangun! Ituuu ... itu Mas Razi lagi jalan gandengan sama cewek lain!"
"Hm? Biarin aja, ntar juga pergi sendiri ceweknya." Maira menjawab acuh dengan suara parau. Namun matanya masih betah memejam.
Malik melongo melihat reaksi kakaknya yang sama sekali tidak terpancing. "Waaah, kebo beneran!"
KAMU SEDANG MEMBACA
May & Aji || #wattys2019 (Completed)
RomanceArsan Fahrurazi, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo lagi. Nggak akan! (Maira) Tapi ... (suara kaset rusak) ... benarkah begitu? Dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa yang tertinggal itu masih di sana, berlonjakan setiap kali pria i...