- Pelukanmu menghangatkanku, tapi juga menyakitiku.
Lalu apa yang harus kulakukan? Tetap memelukmu untuk merengkuh kehangatan,
atau melepasmu untuk memusnahkan sakitnya? -
-May-*****
Sayup - sayup terdengar suara lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid di komplek perumahan itu menjelang waktu adzan Subuh. Maira terbangun dari lelapnya. Perlahan ia membuka mata. Seketika ia terkesiap saat menyadari posisinya. Ia sedang berada di dalam dekapan Razi. Maira tidur dengan berbantalkan bahu suaminya, di atas ranjang berukuran besar. Kamar ini, bukan kamar yang ditempatinya. Maira menggigit bibir bawahnya. Ia coba mengingat kembali kejadian tadi malam. Sepertinya tidak terjadi apa - apa di antara mereka berdua.
Karena takut membangunkannya, perlahan Maira berusaha menyingkirkan tangan Razi yang melingkar di atas perutnya. Tapi usahanya itu sia - sia, karena ternyata suaminya telah terbangun. Dengan mata masih terpejam, Razi justru mengeratkan dekapannya, "mau kemana May?"
"Pindah ke kamarku."
"Udah, di sini aja. Kita suami istri, harusnya tidur sekamar."
Maira yang sudah sepenuhnya sadar, tidak menghiraukan kata - kata Razi. Ia justru memindahkan tangan Razi begitu saja dari atas perutnya. Namun Razi bersikeras, ia mengembalikan tangannya di posisi semula.
"May..."
"Aku sudah bilang, jangan sentuh aku! Lepas, atau tamparan mautku bakal melayang di pipi kamu untuk ketiga kalinya!" Maira menegaskan dengan lantang. Mendengar ancaman istrinya, Razi segera mengangkat badannya. Ia terduduk di pinggir ranjang.
"Aku kira marah kamu sudah reda."
"Aku tidak marah. Aku hanya ingin batas di antara kita diperjelas."
"Batas apa?" Razi menatapnya dengan heran.
"Yaa...seperti ini. Kita tidak boleh bersentuhan. Kita tidak tidur sekamar. Aku punya privacy, kamu punya privacy."
"Tapi kita sudah menikah, May. Semua itu diperbolehkan."
"Tidak! No physical contact, no emotional feeling involved! Anggap saja kita teman kos-an. Bahkan kalau perlu...aku bayar sewa bulanan untuk kamar yang aku tempati." Maira mengutarakan kalimatnya dengan ketus.
Razi memejamkan matanya. Ia tidak tahu kenapa istrinya membangun benteng pertahanan terhadap dirinya. Dan rasanya sangat sulit bagi Razi untuk mendobrak benteng itu.
"May, bisa kita bicara?" Sekali lagi Razi mencoba.
"Enggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah jelas!" Maira yang sudah berdiri di samping lemari, mengalihkan pandangannya ke pintu kamar. Ia ingin segera keluar dari ruangan itu. Jika tidak, dadanya akan kembali terasa sesak. Ia harus kuat menghadapi pria itu, lengah sedikit saja, ia akan kembali bergelimang rasa sakit untuk yang kesekian kalinya.
"May, kasih aku kesempatan untuk bicara." Razi beranjak berdiri untuk berhadapan dengan istrinya.
"Aku sudah bilang, nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Yang jelas, jangan melanggar batas yang sudah aku sebutkan tadi!"
Razi mengangkat lalu segera menurunkan kedua tangannya. Ia terlalu lelah untuk berdebat dengan Maira yang memang keras kepala. Tidak sekarang, nanti pasti ada waktunya. Ini saatnya Razi yang mengalah. Namun Razi terlanjur kesal. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang suami telah diinjak. Razi lelah menahan amarahnya. Ia bergerak mendekati Maira.
"Oke, aku akan ikuti semua kemauan kamu! Dari awal, kamu yang memulai semua ini. Buat kamu, pernikahan ini cuma sandiwara, permainan, alat buat mencapai tujuanmu. Aku? Aku cuma sekedar pion buat kamu. Yang bisa kamu gerakkan sesuka hati kamu. Yang tidak pernah kamu anggap keberadaannya. Sedangkan kamu? Kamu pemainnya! Kamu yang mengendalikan semua ini. Buat kamu, pernikahan ini cuma permainan catur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
May & Aji || #wattys2019 (Completed)
RomanceArsan Fahrurazi, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo lagi. Nggak akan! (Maira) Tapi ... (suara kaset rusak) ... benarkah begitu? Dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa yang tertinggal itu masih di sana, berlonjakan setiap kali pria i...