Razi membereskan pakaiannya masuk ke dalam koper berukuran 24 inchi itu. Sementara Maira hanya menatap sedih suaminya yang tengah bersiap-siap itu.
"Kamu kenapa?" Razi bertanya dengan wajah cemas. Tidak menyukai raut sedih yang terpampang jelas di sana.
Maira bangkit lalu menghampiri Razi dari arah belakang. Sekarang giliran dirinya yang merangkul suaminya itu dari belakang. Menurut Maira, ternyata memeluk dengan cara seperti ini, menyenangkan. Pantas saja Razi doyan melancarkan serangan dari belakang.
Razi meraih tangan Maira yang melingkar erat di pinggangnya. "Kenapa? Mau lagi? Aku sih nggak nolak."
"Iihhh, mesum amat! Udah delapan ronde masih aja kurang?"
"Delapan? Bukannya cuma tujuh?"
"Maaas, kamu serius ngitung?" Wajah Maira memerah muda, terlihat bak tersapu oleh blush-on.
"Mau sampai 10 kali juga aku ladenin." Razi melirik jam tangannya. "Gimana? Masih ada waktu dua jam, nih!"
Dan cubitan maut Maira pun melayang di perutnya. "Aaahhh! Aduuuhhh! Kamu kalo mau nyubit jangan di situ, dong. Cubit yang lain aja." Razi yang sudah meringis kesakitan masih saja sempat melancarkan godaan.
"Iiihhhh, kamu nggak liat bibirku udah sampe bengkak begini! Nanti kalo aku turun, apa kata orangtua kita coba? Apalagi Malik. Tuh anak pasti banjir bahan ledekan! Lagian kamu juga nggak capek apa? Gaya inilah, gaya itulah." rengek Maira dengan bibir dimajukan.
"Oooh, jadi gara-gara itu kamu nggak mau sarapan di bawah tadi?"
Maira malas menjawab, hanya memalingkan wajahnya seraya kembali duduk di atas ranjang.
"Lagian mereka semua bakal ngerti, kok. Namanya juga pengantin baru. Terus kayaknya kita belum nyoba gaya-"
"Maaaaaassss! Mau aku cubit lagi?" seru Maira sengit.
Sementara Razi terbahak-bahak melihat wajah istrinya yang sudah diliputi rasa malu.
"Jadi, tadi kamu meluk-meluk aku modusnya apa?" tanya Razi yang kini sudah duduk di samping Maira.
"Ngerayu kamu biar diundur pulangnya." Maira menundukkan wajahnya yang masih malu.
Razi menyeringai senyum, tangannya terangkat untuk mengusap rambut panjang Maira. "Sayang, katanya hidup harus realistis. Aku sedang bersikap realistis. Aku bukan CEO kaya seperti dalam cerita-cerita novel yang nggak harus bekerja pun, uang mengalir tanpa batas. Kalau aku CEO kaya, mungkin aku bakal nemenin kamu di sini selama mungkin. Aku punya tanggung jawab terhadap biro. Biro-ku juga umurnya masih muda, ibarat bayi baru belajar merangkak. Jadi aku harus ada di sana memastikan bayiku bisa berjalan dengan cepat."
"Ckckck ... begini ya rasanya punya suami yang terlalu cerdas."
"Aku cerdas dalam segala hal, lho." Razi mengedipkan sebelah matanya.
"Iya, iyaaa. Percaya! Kalo nggak, mana mungkin sampe delapan ronde!"
"Kamu kalau mikirnya kesitu terus, nanti beneran aku genapin sampai sepuluh, lho!" ancam Razi dengan seringai nakal.
Maira membalas tatapan nakalnya dengan tatapan yang sama. "Kamu pikir aku takut? Aku sih hayuk aja, toh kamu ini yang bakal ketinggalan pesawat. I have nothing to lose!" Maira memajukan jemarinya ke kancing paling atas kemeja Razi.
Namun tangannya itu segera ditangkap oleh Razi. Ia menyesal sudah menantang istrinya. Razi baru saja ingat jika Maira kini sudah mulai 'berani'. "Eh, eh, aku ralat deh ... jangan sekarang ya, Sayang. Packing-nya belum kelar, tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
May & Aji || #wattys2019 (Completed)
RomanceArsan Fahrurazi, gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo lagi. Nggak akan! (Maira) Tapi ... (suara kaset rusak) ... benarkah begitu? Dasar namanya hati, bawaannya selalu jujur. Rasa yang tertinggal itu masih di sana, berlonjakan setiap kali pria i...