EMPAT

12.4K 816 22
                                    

Didalam mimpi itu, kita selalu terlihat bahagia. Kamu yang selalu tersenyum hangat kepadaku dan hanya kepadaku. Pelukanmu yang menghangatkan dinginnya kehidupanku. Jemari yang selalu menghapus air mataku. Tangan yang selalu menggenggam tangan mungil ini. Aku harap kamu nyata agar kebahagiaan ini utuh. Aku tidak akan pernah melepasmu, untuk selamanya.

_Arlina's Diary_

Arlin menutup buku diary nya. Wanita itu menghela nafas lalu tersenyum mengingat semua mimpi indahnya bersama pria itu. Meskipun ia tak sanggup mengingat secara jelas. Ia mengingat sedikit ciri fisik pria itu. Tinggi, ketampanannya diatas rata-rata, sedikit berewok, alis yang tebal dan memiliki bekas luka jahit di dahi kananya. Arlin percaya bahwa pria itu adalah takdirnya.

Arlina menuju tempat tidurnya dan mengambil handphonenya. Ia mulai mempertimbangkan untuk mengirim pesan kepada Devan Hail. Ia melihat foto profil Devan yang hanya menampakan punggung pria itu yang sedang memandang senja.

"Punggung yang tegap" komentar Arlin tanpa ia sadari.

"Kenapa aku deg-deg an gini sih?" ucapnya bingung.

"Ah...pasti karena ini pertama kalinya chat sama pria asing. Aku duluan pula yang chat" Arlina berusaha untuk logis.

"Ngomong apa nih? Perkenalan dulu kali ya? Rania bilang, Devan bisa bahasa Indonesia kan ya? Jadi nggak usah sok inggris segala sementara bahasa inggris aku jelek. Dulu pas sekolah juga remedial mulu" Arlin kembali bermonolog dengan dirinya sendiri.

'Hallo, Devan. Perkenalkan saya Arlina Nurindah. Saya dapat kontak kamu dari Rania. Saya ingin berteman dengan kamu. Apa kamu keberatan'

_Arlina_

Pesan itu terkirim namun hingga sejam kemudian, tanda centang dua itu tidak berubah menjadi warna biru. Arlina menelpon Rania.

"Ran, kok pesan aku belum dibaca sih" rengek Arlin pada Rania.

"Memangnya kamu ngirim pesan ke Devan udah berapa lama? Udah seabad belum" tanya Rania.

"Sejam yang lalu" ucap Arlin.

Rania memutar bola matanya "Ya ampun Arlin, yang sabar dong. Namanya juga beda negara, beda waktunya 4 jam deh kalau nggak salah. Terus dia juga kan kerja. Sibuk, Lin"

"Kamu juga biasa gitu sama dia?" tanya Arlin lagi.

"Ya iyalah, dibalas kalau pas sempat. Tapi kalau pas waktu sempatnya sama bisa lama kami ngobrol, kirim pesan atau video call" ucap Rania.

"Udah dulu ya. Lagi lembur nih. Ntar kerjaan aku nggak selesai-selesai ngobrol sama kamu mulu" Rania dengan segera memutuskan percakapan mereka.

"Siapa?" Tanya Arvin namun wajah tampan itu masih menekuri laporan yang sudah direvisi oleh Rania.

"Teman" jawab Rania apa adanya.

"Teman Tapi Mesra?" tanya Arvin dengan nada dan wajah datarnya.

"Bapak fansnya Maia-Mulan ya ternyata" Rania tertawa sementara Arvin menatapnya kesal.

"Beneran teman pak. Perempuan, cantik, imut-imut. Jomblo. Bapak mau? Saya punya banyak stok kawan jomblo. Wanita cantik dan dijamin baik-baik" jelas Rania pada akhirnya.

"Nggak. Saya nggak butuh" ucap Arvin ketus.

"Lalu bapak butuhnya apa?" Tanya Rania.

"Saya cuma butuh kamu" jawab Arvin.

"Bapak ternyata so sweet dan bisa gombal juga ya" jawab Rania sambil tersipu.

"Maksud saya, saya butuh kamu selesaikan laporan itu secepatnya" jelas Arvin yang membuat Rania langsung cemberut.

"Tapi orangtua bapak butuh cucu tuh untuk melanjutkan pewarisan tahta dan untuk menghibur masa tua mereka" ucap Rania pantang menyerah.

"Kamu nggak perlu ngurusin saya. Urusin aja kejombloan dan ketidakpekaan kamu itu" balas Arvin.

"Ntar saya nyebar undangan dadakan. Awas bapak nggak datang" ancam Rania.

"Undangan ulang tahun?"

Rania melotot atas pertanyaan Arvin "Undangan pernikahanlah pak. Masa ulang tahun sih"

"Kalau pernikahan kamu saya pasti datang" ucap Arvin dengan yakinnya.

"Awas loh ya kalau bapak nggak datang. Saya denda" ancam Rania kembali.

"Pak, kita masih lama nggak sih? Ini kantor makin malam makin seram. Ditambah lemburnya sama bapak pula. Berdua pula" ucap Rania sambil mengedarkan pandangannya.

"Masih. Siapa suruh kamu dari tadi ngajakin saya ngobrol" ucap Arvin.

Rania menutup mulutnya rapat-rapat setelah mendengar ucapan Arvin. Ia tak akan mengajak Arvin berbincang lagi jika berimbas pada jam pulangnya.

"Pak, saya mau ke pantry. Mau buat kopi" pamit Rania.

"Buatkan saya satu. Kopi hitam tanpa gula"

"Pakai sianida nggak?" tanya Rania menjahili bosnya.

"Awas ya kamu kalau saya kenapa-kenapa, saya hantui kamu"

Rania mencibir sambil berjalan menuju pantry "Bapak belum jadi hantu aja udah menghantui malam-malam saya"

Tepat sesaat bayang Rania menghilang, handphone Rania yang berada diatas meja bergetar dan menampilkan nama Devan Hail. Arvin melihat sekilas pesan itu.

'Hai princess, masih lembur?'

_Devan Hail_

PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang