25

10.6K 719 8
                                    

Malamnya, begitu sampai di Jakarta, Rania segera bergegas ke rumah sakit tempat Arlin dirawat. Arvin masih setia menemani Rania meskipun gadis itu sebenarnya keberatan ditemani oleh Arvin. Namun Rania tidak memiliki tenaga lebih untuk berdebat dengan Arvin.

"Bagaimana keadaan Arlin, bu?" Rania langsung menghampiri kedua orang tua Arlin. Di lorong tunggu, Rania bisa melihat kedua abang Arlin bersama istri mereka dan adik Arlin yang masih SMP.

"Masih tidak sadarkan diri, Ran" ucap beliau dengan nada dan ekspresi sedih.

"Ran, boleh masuk?" tanya Rania hati-hati.

"Iya, Ran"

Rania memasuki ruangan tempat Arlin dirawat. Arvin mengekor dibelakang Rania. Rania berjalan pelan menuju tempat Arlin terbaring tak sadarkan diri. Hatinya pilu menatap wanita ringkih itu harus menggunakan alat pernapasan, infus dan pergelangan tangan sebelah kanan yang dililit kain kasa putih. Digenggamnya tangan mungil itu, tanpa kata air mata Rania kembali menetes.

"Maaf" ucap Rania dengan suara serak dan gemetar. Arvin meremas lembut bahu Rania, berusaha untuk menyemangati wanita itu.

"Aku minta maaf. Aku sama Devan nggak pacaran kok. Nggak benar-benar pacaran. Cuma settingan" ucap Rania lirih.

"Udah kayak artis aja ya kami ini, pacaran settingan" ucap Rania sambil tertawa pilu.

"Makanya kamu cepat bangun. Harus cepat sadar dan sembuh agar kamu bisa lihat betapa banyak orang-orang yang sayang, cinta dan tulus padamu. Selama ini kamu mengeluh terabaikan, tidak dicintai. Kamu harus sadar dan harus lihat sendiri betapa mereka semua khawatir dan sangat mencintai kamu. Jika aku yang bukan siapa-siapa hanya sebatas sahabat kamu aja khawatir dan sangat mencintai kamu. Apalagi kelurga kamu. Tidak ada keluarga yang tidak saling mencintai, Lin. Bahkan pada banyak keluarga yang mungkin sering kita lihat terlibat pertengkaran, jika salah satu terluka yang lainnya akan terluka. Jika salah satu sakit, yang lainnya akan sakit" ucap Rania kian melirih.

Sebuah keajaiban, jemari ringkih Arlin didalam genggaman tangan Rania menunjukkan pergerakan samar. Kelopak mata Arlin yang masih tertutup menunjukan pergerakan hingga mata indah itu perlahan-lahan terbuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan pencahayaan yang diterima oleh bola matanya.

"Lin" ucap Rania senang. Rania sampai berdiri agar bisa menatap mata Arlin lebih dekat untuk memastikan bahwa pengelihatannya bukanlah sebuah impian semu.

Arlin menatap Rania dengan kening sedikit mengernyit dan tatapan bingung.

"Kamu siapa?" ucapnya lemah.

Rania menatap Arvin dengan tatapan bingung. "Pak, tolong panggilkan keluarganya" pinta Rania. Arvin menurut dan keluar memanggil keluarga Arlin. Rania segera memencet bel untuk memanggil perawat agar kondisi Arlin bisa segera diperiksa.

"Ini aku Rania, Lin. Rania Andrelia. Masa kamu nggak ingat. Kita kawanan dari kecil Lin" ucap Rania khawatir.

Arlin masih menatap Rania dengan tatapan bingung. Bahkan wanita itu menatap seluruh anggota keluarganya dengan tatapan bingung.

"Kalian siapa?" tanya Arlin dengan nada pelan dan lemah.

Tepat pada saat itu, perawat dan dokter yang menangani Arlin datang dan memeriksa kondisi Arlin.

"Saya mau bicara dengan orangtua anak ini" ucap dokter setelah memeriksa kondisi Arlin.

"Kami orangtuanya Arlin, dok" ucap Ayah Arlin sambil merangkul istrinya.

"Mari keruangan saya"

Kedua orang tua Arlin mengikuti dokter spesialis yang menangani Arlin tadi. Diruangan rawat Arlin tersisa kedua abang Arlin dan istri-istri mereka dan adik Arlin. Rania memilih mengalah dan menunggu diluar. Rania duduk dikursi tunggu. menyandarkan punggung dan kepalanya pada dinding dingin rumah sakit. Rania merasa tangannya digenggam seseorang. Tanpa membuka matanya, Rania tau pelakunya tak lain adalah Arvin yang masih setia menemaninya.

"Kamu mau pulang? Istirahat dulu, kamu kelihatan capek banget Ran" ucap Arvin sambil menggenggam dan mengelus-elus sebelah tangan Rania yang ada dalam genggamannya.

"Nanti aja pak. Bapak pulang aja duluan. Bapak pasti capek" ucap Rania lesu.

"Nggak kok. Saya nggak apa-apa. Saya temani kamu sampai selesai urusannya" jawab Arvin dan membiarkan keheningan menyelimuti mereka.

"Ran" sebuah suara memanggilnya lembut. Rania membuka matanya.

"Ibu mau bicara berdua sama kamu boleh?"

Rania mengangguk lalu berpamitan pada Arvin "sebentar ya pak"

Arvin hanya mengangguk meskipun dalam benaknya ia khawatir melepas wanita itu.

Rania dan mamanya Arlin berjalan menjauh dan mereka duduk ditaman sekitar ruang rawat Arlin.

"Ibu hanya mau tau sebenarnya apa yang terjadi"

Rania menunduk mengumpulkan keberaniannya. Pada akhirnya dengan lirih Rania menceritakan segala perasaan terpendam yang Arlin rasakan, mulai dari tekanan dirumah, ditempat kerja dan bahkan tentang Devan.

"Maaf" Rania menutup ceritanya dengan satu kata maaf.

"Ibu paham. Untuk sementara jangan ungkit masalah Devan terlebih dulu karena sepertinya hal ini hanya akan memperburuk kondisi Arlin"

Rania mengangguk paham.

"Kamu capek banget kayaknya Ran. Dari Bali langsung kesini ya?"

Rania mengangguk dan menjawab "iya" dengan suara lemah.

"Istirahat aja dulu dirumah. Besok kesini lagi"

"Tadi dokter bilang apa?" tanya Rania hati-hati.

"Dokter bilang mungkin Arlin mengalami Amnesia Disosiatif. Amnesia disosiatif adalah salah satu dari sekelompok kondisi yang disebut gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif adalah penyakit mental yang melibatkan gangguan atau kerusakan memori, kesadaran, identitas, atau persepsi" Mama Arlin menjelaskan penyakit Arlin berdasarkan analisis dokter.

"Apakah itu berbahaya?" tanya Rania khawatir.

"Tidak juga. Bisa disembukan melalui pengobatan medis dan psikoterapi ataupun terapi kognitif atau bisa juga dengan hipnosis. Memang membutuhkan waktu untuk benar-benar sembuh"

Rania menggangguk lemah. "Semoga Arlin cepat sembuh" ucapnya tulus.

"Aamiin. Kita doakan sama-sama ya Ran" jawab mama Arlin.

"Iya. Kalau gitu Ran pamit dengan Arlin dulu ya Bu?" tanya Rania. Mama Arlin mengangguk.

Mereka memasuki ruang rawat Arlin. Arvin kembali mengekori Rania.

"Lin. Aku pulang dulu ya. Besok aku kesini lagi" pamit Rania pada Arlin.

"Devan mana?"

Rania terpaku ketika nama Devan diingat Arlin dan wanita itu mencari Devan. Rania benci berbohong, ia tidak pernah pandai berbohong.

"Siapa sih Devan, Ran? Daritadi dia nyebut dan nyari-nyari Devan" tanya Mas Wisnu bingung.

"Mas tanya aja ntar sama Ibu" jawab Rania enggan menjelaskan panjang lebar.

"Kan Devan nggak di Indonesia Lin" ucap Rania akhirnya harus berbohong.

"Dia dimana?"

"Pakistan, Lin"

"Kalau begitu bisakah kau menyampaikan pesanku?"

"Aku tidak punya nomor Devan lagi" sekali berbohong, kebohongan yang lain akan tetap bergulir untuk menutupi kebohongan sebelumnya.

"Kau kan punya sosial media Devan yang lain. Bilang padanya kalau aku merindukannya. Sangat merindukannya. Aku ingat sama kamu sekarang Ran. Kamu kan yang mengenalkan kami. Mengenalkan Devan padaku" ucap Arlin lemah.

Rania menutup matanya untuk pertama kalinya Rania berharap ia bisa memutar waktu agar pada saat itu mungkin sebaiknya Rania tidak memberikan teman asing terbaiknya untuk sahabat terbaiknya. Seandainya waktu itu Rania memberikan teman asing terburuk yang ia punya, mungkin keadaan tidak akan serumit ini.

PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang