DUA PULUH TIGA

10.2K 776 24
                                    

Rania sedang dilanda dilema atas permintaan Devan. Disatu sisi dia memang ingin membantu Devan namun bukan dengan menyakiti sahabatnya tercinta, Arlin. Memang ide yang Rania anggap luar biasa cerdas itu juga pada akhirnya akan menyakiti sahabatnya dengan harapan setidaknya walaupun sakit, Arlin bisa sadar dan mengerti penolakan Devan. Tapi tidak dengan Rania menjadi pacar Devan walaupun palsu tetap saja ini akan berdampak pada persahabatannya dengan Arlin.

Rania sedang mengamati Arvin dari meja kerjanya dan kedilemaan Rania kian menambah saat pria itu menjadi tambah dinging, ketus dan sensitif. Rasanya Rania ingin menangis setiap kali Arvin membentaknya sambil membanting setiap laporan yang Rania bawa untuk diperiksa oleh Arvin. Bahkan semakin hari mood Arvin bukannya semakin membaik malah semakin memburuk.

Rania melirik jam tangannya, jam makan siang sudah lewat namun Arvin hanya beranjak untuk sholat bukan untuk makan. Rania memberanikan diri mengetok pintu ruangan Arvin sambil membawa kotak bekalnya.

"Kenapa?" tanya Arvin jauh lebih ketus dan dingin daripada biasanya.

Rania menggigil merasakan ruangan Arvin yang dingin karena AC lalu ditambah dinginnya aura sang pemilik yang bertahta diruangan ini.

"Makan siang dulu pak. Saya perhatikan beberapa hari ini bapak sering melewatkan makan siang" ucap Rania yang hanya ditanggapi oleh keheningan. Arvin bahkan sedari tadi tidak menatapnya.

"Seperti yang bapak sarankan. Saya bawa bekal dan saya buat banyak untuk porsi berdua" ucap Rania lagi pantang menyerah.

"Tumben baik. Kamu kasih racun?" tanya Arvin masih tetap dingin dan ketus serta masih asik dengan laptopnya. Rania berusaha sesabar mungkin.

"Nggak kok pak. Saya buatnya dengan cinta" jawab Rania berusaha untuk bercanda.

"Oh, kalau gitu kasih aja ke pacar kamu. Si Devan" nada Arvin semakin dingin ketika menyebut nama Devan.

"Tapi kan saya buat ini untuk Pak Arvin bukan buat Devan" ucap Rania dengan nada sedikit kesal.

"Terserah bapak deh. Saya letakkan disini ya. Jangan lupa dimakan" ucap Rania sambil meletakkan bekal makanannya di meja kerja Arvin.

"Saya permisi" pamit Rania sebelum meninggalkan ruangan Arvin.

Lama Rania memperhatikan, kotak bekalnya tak tersentuh oleh Arvin. Arvin keluar dari ruangannya.

"Siapkan keperluan rapat dengan Pak Dwingko. Satu jam lagi kita keluar menemui Pak Dwingko" titah Arvin.

"Baik pak" jawab Rania cepat dan mulai mengerjakan apa yang diperintahkan Arvin.

Tepat pukul 13.50. 10 menit lebih awal dari Arvin pinta, Rania mengetuk ruangan Arvin.

"Pak, semuanya sudah siap. Pergi sekarang?" tanya Rania sambil memulaskan senyum manis diwajah cantiknya.

"Kita ke divisi CFO dulu" ucap Arvin sambil berdiri dan berjalan menuju lift. Rania mengekor dibelakang Arvin.

Sesampainya di divisi CFO ternyata sedang terjadi kehebohan yang diciptakan Arlin dan Devan. Devan sedang menyeret Arlin untuk keluar dari ruangannya. Melihat hal itu, Rania segera mendekati Devan dan Arlin untuk melerai kehebohan itu.

"Devan lepaskan" titah Rania sambil mengambil tangan Devan yang mencengkram lengan mungil Arlin. Sentuhan Rania membuat cengkraman tangan Devan dilengan Arlin mengendur. Devan menggenggam tangan Rania tanpa ragu.

"Kamu pengen tau siapa pacar aku?" ucap Devan dengan nada penuh emosi pada Arlin.

Devan memamerkan genggaman tangannya dan Rania pada Arlin. Lalu dirangkulnya Rania dalam pelukannya. "Rania Andrelia" ucap Devan dengan penuh keyakinan dan kepastian.

Semua manusia diruangan itu menarik nafas terkejut. Abi, Shaza, Lioni serempak menoleh menatap Arvin yang mematung dengan tatapan tajam menghujam Rania yang sedang berada didalam pelukan Devan.

"Bohong. Kamu pasti bohong. Rania nggak mungkin setega itu sama aku" Arlin setengah berteriak.

"Ran?" Arlin menatap Rania dengan memelas.

"Ran. Devan itu takdir aku Ran" Rania dapat melihat mata Arlin mulai berkaca-kaca.

Devan melerai pelukannya dan membawa Rania untuk bersembunyi dibelakang punggungnya yang tegap untuk melindungi Rania jika Arlin khilaf dan mengamuk.

Devan tersenyum sinis menatap Arlin "Takdir aku itu Rania, bukan kamu. Aku dan Rania sudah dekat jauh sebelum kamu muncul. Kamu itu penghalang buat kami"

"Dev. Hentikan" lirih Rania sambil mencengkram lemah kemeja berwarna navy yang dipakai Devan.

"Nggak Ran. Biar wanita satu ini sadar akan posisinya" ucap Devan masih dengan bercampur emosi.

Arvin yang sedari tadi hanya menonton sekarang melangkah mendekati Rania. Ditariknya lengan Rania agar berpindah sisi dari sisi Devan ke sisinya.

"Rania harus pergi rapat dengan saya. Saya turun kesini hanya ingin bilang ke kamu, Devan. Saya minta laporan keuangan perusahaan untuk bulan ini paling lambat satu minggu dari sekarang" ucap Arvin dengan tenang namun dingin.

"Baik. Akan segera saya antar keruangan bapak jika laporannya sudah siap" jawab Devan berusaha profesional.

Rania melihat tatapan Arlin yang mendingin dan penuh kebencian kepadanya.

"Aku benci sama kamu, Ran" ucap Arlin dingin.

Melihat hal itu, Arvin segera membawa Rania keluar dari pusaran masalah. Namun bagi Rania ia hanya sedang terjebak dipusaran masalah yang lain bukan sedang diselamatkan.





PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang