LIMA BELAS

10.8K 797 26
                                    

"Aku sama Shaza duluan ya Ran" pamit Lioni kepada Rania sedang menyimpan lembar kerjanya dikomputernya.

"Sip mbak" ucap Rania.

"Ran. Gue sama pak bos mau makan siang nih. Ikut yuk" tawar Abi yang disebelahnya sudah berdiri dengan tampannya seorang Arvin Aksavaro. Setelah kemarin Rania melihat Arvin dengan pakaian kasual dan dengan sedikit senyuman diwajah tampan pria itu. Hari ini Rania melihat Arvin dengan versi normalnya. Pakaian kerja dan wajah datar tanpa senyum.

"Duh, aku udah ada janji makan diluar sama teman Bi" ucap Rania yang juga mulai merapikan tasnya dan memperbaiki ikatan rambutnya yang dikuncir kuda dengan asal itu. Hari ini, ia sedang malas menata rambut panjangnya.

"Ya udah, kami ikut makan diluar juga" ucap Arvin.

Kening Rania mengernyit namun karena ia tidak punya tenaga untuk berdebat, pada akhirnya Rania hanya berkata "Terserah kalian. Tapi kita pisah meja ya" dan Rania berjalan meninggalkan dua pria tampan nan gagah itu.

Arvin dan Abi mengekor dibelakang Rania dalam hening. Tiba-tiba Rania merasa ia punya bodyguard dadakan. Langsung punya dua bodyguard pula. Satu aja kadang ribet.

Rania mengambil tempat duduk didepan Arlin yang ternyata sudah datang terlebih dahulu. Seperti biasa, Arlin selalu tepat waktu. Sementara Arvin dan Abi memang pisah meja, namun mereka mengambil meja tepat dibelakang Rania dan Arvin duduk tepat dibelakang Rania. Punggung ketemu punggung. Entah kenapa sekarang Rania merasa Arvin berniat menguping. Namun Rania segera mengenyahkan pikiran yang menurutnya tak masuk akal.

'Memangnya Arvin kurang kerjaan apa? Pakai acara nguping segala. Nggak mungkin Ran. Jangan kebaperan ya lo Rania' ucapnya galak pada batinnya sendiri.

"Ran...aku kangen sama Devan" ucap Arlin membuyarkan pikiran Rania.

"Tapi Devan nggak kangen tuh sama kamu" ucap Rania langsung karena ia sedang malas bermanis-manis pada Arlin. Bagi Rania, Arlin harus disadarkan pada kenyataan bahkan dengan cara sepahit apapun.

"Kenapa sih? Kamu cemburu aku sama Devan? Kamu suka juga sama Devan" tanya Arlin curiga.

Rania memutar bola matanya malas. "Lin, sekarang gini deh ya. Devan itu pria baik. Wanita mana yang nggak suka sama Devan? Tapi aku sadar rasa suka aku tuh bukan rasa suka atau rasa tertarik bahkan sampai ingin mengikat Devan dalam hubungan yang lebih dari pertemanan. Coba kamu liat diri kamu lagi Lin. Kamu hanya terobsesi dengan Devan. Obsesi dengan cinta beda Lin. Aku sayang sama Devan. Tapi bukan sayang dalam definisi yang kamu pikirkan" ucap Rania tegas.

"Nggak Ran. Aku nggak terobsesi dengan Devan. Devan itu takdir aku" ucap Arlin yakin.

Rania kembali memutar bola matanya jengah "Lin. Nggak ada yang tau takdir. Kamu bukan Tuhan"

"Yang bilang aku Tuhan siapa? Aku juga nggak pernah ngaku Tuhan kok. Perasaan aku bilang gitu. Hati aku yakin kalau Devan itu takdir aku" ucap Arlin dengan ngotot.

Rania menghela nafas "Lin. Udah hampir sebulan loh ya aku dengar pembicaraan kamu mutar-mutar. Ngotot bilang 'Devan itu takdir kamu'. Sadar Lin, Devan itu udah nolak kamu. Dia nolak kamu berkali-kali. Dia udah bilang berkali-kali kalau dia nggak tertarik sama kamu. Dimana sih harga diri kamu sebagai perempuan?" ucap Rania dengan sedikit menggebu-gebu namun masih tetap menjada volume suaranya agar tidak meninggi. Rania tidak ingin pembicaraan mereka menjadi konsumsi publik.

"Itu kan sekarang Ran. Kita nggak tau nanti. Aku sedang memperjuangkan takdir aku. Kamu kan sahabat aku dan Devan. Kamu harusnya dukung kami" ucap Arlin.

Rania tertawa sinis "Dukung kamu dan Devan? Aku harus dukung siapa sementara kalian berada didua sisi yang berbeda. Kamu dengan keyakinan tidak masuk akal dan ngotot dengan keyakinan Devan adalah takdir kamu. Dan Devan dengan ketakutannya selalu lari menghindar dari kamu. Devan itu risih dengan sikap kamu yang kayak gini Lin. Aku harus dukung siapa? Sementara aku malah mengasihani kalian berdua"

PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang