DUA PULUH DELAPAN

12.5K 822 52
                                    

"Ran pesankan saya makan siang yang didekat sini aja. Soalnya saya laper banget" titah Arvin yang sekarang sedang berdiri didepan meja kerja Rania.

"Apa aja nih?" tanya Rania sambil menatap Arvin dengan tatapan menyipit. Maklum Arvin kan cerewet masalah makanan.

"Iya, apa ajalah. Aku mau sholat dulu. Pesan juga satu untuk kamu" jawab Arvin lalu segera berjalan ke musholla lantai CEO.

"Siap laksanakan, Pak Bos" jawab Rania sambil melihat punggung tegap itu. Rania tersenyum sementara Arvin tanpa Rania ketahui juga tersenyum mendengar jawaban Rania.

"Mari kita lihat apa yang ada disekitar sini" ucap Rania sambil asik menjelajahi sebuah aplikasi online. Tak perlu waktu lama, ia segera memesan paket ayam bakar.

"Udah Ran?" tanya Arvin pada Rania.

Rania menatap rambut Arvin yang sedikit basah. Entah kenapa Arvin jadi tambah mempesona dimata Rania. Rania menggeleng cepat.

'Efek air wudhu dasyat ya bahkan bisa sampai menambah kadar kegantengan seseorang' gumam Rania dalam hati.

"Udah kok pak. Bentar lagi sampai paket ayam bakarnya" jawab Rania.

Arvin tertawa. "Maksud saya kamu udah mencintai saya belum?"

Rania menyipit menatap Arvin. "Bapak ih, jangan gombalin jomblo kayak saya. Nanti saya baper" ucap Rania kesal.

"Bagus dong kalau kamu baper" jawab Arvin enteng. Arvin menarik kursi dan duduk didepan Rania.

"Kalau saya baper siapa yang mau tanggung jawab?" tantang Rania.

"Ya saya dong Ran, kan saya yang buat kamu baper. Saya yang tanggung jawab. Penuh dan sampai tuntas" balas Arvin dengan tegasnya.

Rania menyipit curiga. "Bapak nggak lagi kesurupan kan? Eh tapi masa habis wudhu bisa kesurupan sih. Kan masih suci"

Arvin tertawa mendengar kecurigaan Rania.

"Rania...rania.. saya sadar seutuhnya 100 persen. Seribu persen. Sejuta persen. Semiliyar persen. Setriliun persen. Saya sadar sepenuhnya, Rania" ucap Arvin sambil tersenyum dab menatap Rania lekat - lekat untuk meyakinkan wanita itu.

Tanpa Arvin tau, tatapan dan senyum Arvin membuat jantung Rania berdetak tak karuan.

"Pak pesanannya udah sampai. Saya turun kebawah dulu" pamit Rania buru-buru kabur dari Arvin karena hari ini Arvin sangat berbahaya untuk kesehatan jantungnya.

Arvin menahan tangan Rania yang hendak berdiri. "Suruh OB atau pak satpam aja yang terimanya dan antar kesini"

Mau tidak mau, suka tidak suka, Rania menjalankan perintah Arvin. Arvin masuk ke ruangannya untuk mengambil dompetnya. Tak lama setelah itu Pak Wanto, salah satu OB di perusahaan muncul didepan Rania mengantarkan pesanan bos mereka.

"Makasih ya Pak. Ini udah dibayar kan tadi?" tanya Arvin.

"Sudah, Pak Arvin" jawab Pak Wanto.

"Ini. Ganti uang yang bapak pakai tadi. Makasih ya, Pak" ucap Arvin lagi sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu.

Pak Wanto menerima uang itu. "Sebentar ya pak, saya carikan kembaliannya"

"Nggak usah. Kembaliannya buat bapak makan siang aja" ucap Arvin.

Wajah Pak Wanto berseri dan mengucapkan "terimakasih, Pak"

"Iya sama-sama" balas Arvin.

"Mari, Pak. Saya permisi" pamit Pak Wanto sambil mengangguk sopan pada Arvin dan Rania.

Arvin dan Rania tersenyum dan membalas anggukan sopan Pak Wanto. Mereka berdua mulai menyantap paket ayam bakarnya di meja kerja Rania.

"Ran, kamu tau nggak sih?" tanya Arvin memecah keheningan diantara mereka.

"Ya nggak tau lah pak kan bapak belum cerita" jawab Rania.

"Makanya ini saya mau cerita. Saya mau cerita waktu pertama kali ngeliat kamu. Waktu kamu kerja dibawah naungan divisi CFO. Saya tuh selalu merasa nggak asing dengan wajah kamu. Kayak pernah lihat gitu"

Rania mengernyit mendengar ucapan Arvin. "Perasaan kita nggak pernah ketemuan deh sebelumnya. Emang bapak pernah lihat saya dimana?"

"Setelah saya pikir-pikir, saya ingat saya pernah lihat kamu dimana"

"Dimana, pak?" tanya Rania yang mulai penasaran.

"Di masa depan saya" jawab Arvin sambil melempar senyum terbaiknya pada Rania.

"Ihhh bapak ih, malah gombal. Saya itu lagi sedih tau nggak?" ucap Rania kesal.

"Saya nggak gombal Ran. Tapi tumben kamu curhat ke saya" timpal Arvin.

"Ya udah kalau bapak nggak mau dengar keluh kesah saya. Saya ngomong sama tembok aja ntar" ucap Rania kesal.

"Apa sih Ran, gitu aja ngambek" timpal Arvin sambil mengacak-acak rambut Rania dengan sebelah tangannya yang bersih.

"Ih bapak. Kan rambut saya berantakan. Mana tangan saya dua-duanya udah kotor sama ayam dan nasi serta sambal" ucap Rania kesal.

"Sini saya rapikan. Udah saya bilang, saya akan tanggung jawab atas semua hal yang saya perbuat ke kamu" ucap Arvin sambil merapikan kembali rambut Rania yang tadi sedikit acak-acakan karena ulahnya.

"Kalau dibawah kan teman gosip saya banyak. Kalau disini kan cuma bapak doang. Saya juga nggak ngajak gosip. Cuma mau cerita" keluh Rania.

"Ya udah apa. Saya dengarin kok. Sambil dimakan itu nasinya, jangan ayam sama sambal aja yang kamu makan" omel Arvin melihat cara makan Rania.

"Saya tuh sedih. Arlin kan teman saya satu-satunya. Udah hampir seminggu Arlin ke Lembang, saya kan kesepian. Biasa malam minggu saya jalan sama Arlin. Biasa minggu pagi saya jogging atau sekedar jalan santai sama Arlin. Sekarang saya nggak punya teman lagi" curhat Rania dengan ekspresi sedihnya. Arvin mengangguk paham.

"Jadi kamu merasa kehilangan teman?" tanya Arvin dan Rania mengangguk.

"Kalau saya yang gantikan gimana? Tapi saya nggak mau berteman kayak kamu sama Arlin" tawar Arvin dengan serius.

"Hah? maksudnya gimana?" tanya Rania bingung.

"Saya mau nya menjadi teman hidup kamu. Sehidup semati. Hingga akhir hayat. Sampai maut memisahkan. Rania Andrelia, jadilah teman hidup saya didunia dan diakhirat" ucap Arvin dengan tegas dan mata yang menatap Rania lekat-lekat.

PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang