TUJUH BELAS

10.5K 741 25
                                    

'Ran...malam minggu nih. Jalan nggak?'
_Arlin_

'Ayok. Mumpung nggak lembur ini. Habis isya ketemuan ditempat biasa. Oke?'
_Rania_

'Oke. Dasar anak mall'
_Arlin_

'Lah...daripada aku ajakin kamu ketemuan dipuncak Gunung Gede-Pangrango kan capek Lin. Kalau ke mall nggak capek. Nggak perlu mendaki'
_Rania_

'Sekalian aja ketemuan sambil menyebrang samudra pasifik'
_Arlin_

'Mohon maaf ya ogah mati dalam keadaan perawan dengan alasan kematian tenggelam di samudra pasifik'
_Rania_

Rania menyimpan hp nya didalam tas nya. Waktu tepat pukul 17.30. Rania merapikan meja kerjanya sebelum meninggalkan kubikel tempatnya mencari nafkah. Sebelum berjalan menuju lift, Rania melakukan aktivitas datang dan perginya, yaitu absensi menggunakan sidik jarinya.

Pintu lift hampir saja tertutup itu kembali terbuka lebar. Arvin memasuki lift yang hanya diisi oleh Rania. Pria itu berdiri disamping Rania.

"Nanti malam kamu mau kemana?" tanya Arvin sambil menoleh kearah Rania berdiri.

"Mau jalan" jawab Rania seadanya.

"Jalan kemana?" tanya Arvin lagi.

"Kemana aja yang penting ketemu sama jodoh saya" ucap Rania asal.

"Memangnya kamu udah tau siapa jodoh kamu?" tanya Arvin lagi mulai sedikit nyolot.

"Nggak tau. Memangnya saya Tuhan apa bisa tau siapa jodoh saya" ucap Rania dengan nada sedikit kesal karena kekepoan Arvin.

"Lalu?" tanya Arvin lagi.

"Apa?" jawab Rania mulai bingung.

"Nanti malam mau kemana?" ulang Arvin lagi.

"Ya Allah pak. Kan saya udah bilang, nanti malam saya mau jalan" ucap Rania setengah geram.

"Sama siapa?" tanya Arvin lagi yang mengabaikan nada geram Rania.

"Sama teman" jawab Rania seadanya.

"Kok bukan sama jodohnya?" tanya Arvin lagi yang membuat Rania menggeram pelan.

Rania menghela nafas sebentar sebelum menjawab pertanyaan Arvin "ya karena jodoh saya belum ketemu pak"

"Oh" timpal Arvin.

Rania pikir sesi tanya jawab yang dilakukan Arvin sudah berakhir seiring dengan pintu lift yang terbuka dan dengan langkah lebar dan cepat Rania berusaha berjalan ke area parkir meninggalkan Arvin. Namun kaki jenjang Arvin membuatnya sangat mudah sekali mengimbangi langkah terburu-buru Rania. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Arvin melanjutkan pertanyaannya.

"Biasanya kalian ngapain kalau jalan gitu?"

Rania melirik Arvin tidak suka namun mulutnya tetap saja menjawab pertanyaan Arvin "Makan. Minum. Ghibah alias ngegosip"

"Dosa tuh" timpal Arvin.

"Ya emang. Tapi bapak tenang aja, dosanya saya yang tanggung sendiri nggak minta bapak yang nanggung" ucap Rania dengan kekesalan yang kian meningkat.

"Bapak sih nggak pernah ngerasain betapa nikmatnya ngegosip. Bapak bukan manusia kalau belum pernah ngegosip. Makanya jangan temanan sama kerjaan doang. Ini kerjaannya kerja doang, lembur doang. Mengikat janji suci dan setia pada kerjaan" omel Rania panjang lebar.

"Udah ah pak. Saya mau pulang. Mau mandi kembang, mau dandan biar pas ketemu jodoh saya keadaan saya sudah semerbak harum mewangi dan cantik berseri" pamit Rania menuju mobil ayahnya yang ia pinjam karena hari ini ia sedang malas membawa motornya.

"Oh iya satu lagi. Saya nggak mau ketemu wajah bapak malam ini. Jangan ngikutin saya.Apalagi nyamperin saya" ucap Rania to the point karena ia lelah melihat wajah Arvin tiada henti dan hampir setiap hari.

"Pertemuan kita itu takdir. Mana mungkin saya merencana bahkan sampai menguntit kamu" ucap Arvin tak terima atas tuduhan Rania.

Rania mengabaikan pembelaan Arvin dan dengan segera menutup pintu mobilnya dan membawa pulang mobil kesayangan ayahnya.

~~~

Seperti biasa, Rania menuju salah satu resto fast food favoritnya dan mengedarkan pandangannya kesegala penjuru untuk mencari sosok Arlin. Setelah tidak didapatkannya sosok Arlin, Rania memesan makanan dan minumannya. Setelah mendapatkan apa yang ia pesan, Rania mengambil tempat duduk favoritnya yaitu teras belakang. Rania yakin Arlin belum datang dan Arlin juga akan mengambil tempat ini karena ini adalah spot favorit mereka berdua. Tak lama setelah Rania duduk, Arlin datang dengan membawa nampan yang berisi makanan dan minuman yang ia pesan.

"Udah lama?" tanya Arlin.

"Gak kok baru aja" jawab Rania.

"Aku tetap nggak diizinkan resign dari kerjaan aku yang sekarang. Bahkan jika aku tetap bersikukuh dan bersitegang dengan orangtuaku, mereka bilang aku anak durhaka. Aku pengen nikah biar bisa keluar dari rumah itu. Aku capek dan tertekan disana" ucap Arlin muram.

Rania menghela nafas. Sejujurnya ia merasa kasihan dengan nasib sahabatnya ini. Namun memangnya apa yang bisa Rania lakukan? Masalah keluarga Arlin bukanlah ranahnya untuk ikut campur.

"Aduh gimana ya. Kamu mau nikah untuk kabur dari masalah tapi yang namanya nikah itu nggak selamanya bahagia. Bukan seperti novel dan drama manis yang menampakan pernikahan itu akan selalu bahagia karena didalam novel dan drama waktu terhenti disaat termanis kalau didunia nyata kamu nggak bisa milih mau berhentikan waktu sesuka hati kamu. Dan yang namanya hidup nggak hanya tentang bahagia aja. Kalau kamu nikah, otomatis akan ada masalah baru yang harus diselesaikan oleh kalian berdua, mencari jalan keluar bersama iya kalau sejalan kalau nggak? Berantem lagi deh. Intinya sih, niat kamu mau nikah itu salah" ucap Rania berusaha membuka pemikiran Arlin.

"Terus namanya orang kerja ya pasti ada tekanannya lah Lin. Bahkan pekerjaan yang sesuai sama minat dan hobi kamu aja pasti akan ada tekanan dan susahnya. Semua pekerjaan mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing. Nggak ada kerja yang benar-benar enak. Tergantung sudut pandang dan cara kamu menyikapi aja" Rania melanjutkan ceramah malam minggunya. Arlin terdiam mendengar ucapan Rania.

"Ngomong-ngomong Ran, aku udah berbincang-bincang dengan teman Devan. Namanya Demir Emre. Orangnya asik dan kayaknya cocok deh sama kamu Ran. Kan pas tuh, aku sama Devan. Kamu sama Demir" ucap Arlin dengan raut wajah bahagia. Sementara Rania hanya menyimak menunggu Arlin menyelesaikan apa yang ingin disampaikan wanita itu.

"Aku pernah bermimpi tentang bayi kembar. Kita mengambil bayi kembar itu. Namun bayi kembar itu tertukar. Yang harusnya untukku malah kamu ambil dan yang harusnya untukmu malah aku yang ambil. Kita harus mengembalikan bayi itu" ucap Arlin. Rania mulai berkerut bingung.

"Gimana mau balikannya? Itu kan cuma mimpi" ucap Rania dengan kening yang masih berkerut.

"Bayi kembar itu seperti Devan dan Demir. Kamu sekarang sedang menggenggam Devan dan aku sedang menggenggam Demir. Devan yang untukku malah sedang dekat dengan kamu sementara Demir yang untuk kamu malah dekat ke aku. Kita harus mengembalikannya. Devan takdir aku dan Demir takdir mu, Rania" ucap Arlin.

Rania tertawa mendengar ucapan Arlin"Lin, makin lama kamu makin halu ya. Pertama, aku udah bilang aku nggak tertarik untuk menikah dengan orang berkewarganegaraan asing. Kalau sama Devan yang masih darah campuran aja aku nggak mau, apalagi sama Demir yang darah asli keturunan Pakistan. Kedua, kalau kamu mau ambil aja itu dua-duanya. Aku nggak nahan atau ngambil Devan dari kamu ya. Devan yang NGGAK MAU BERSAMA DENGAN KAMU" ucap Rania tegas dan menekan baik-baik kalimatnya yang terakhir.

"Sadar Lin. Kayaknya kamu perlu psikiater untuk membantu kamu sadar dan mengerti bahwa Devan itu udah NOLAK dan NGGAK TERTARIK DENGAN KAMU" ucap Rania geram. Ia lelah dengan pembicaraan mutar-mutar tanpa arah dan tujuan yang selalu Arlin ungkit-ungkit.

"Aku nggak gila" ucap Arlin kesal.

"Orang gila memang nggak pernah ngaku gila Lin. Kalau ngaku, Rumah Sakit Jiwa bakal penuh" balas Rania.

"Dan lagi, aku nggak pernah bilang kamu gila. Aku hanya bilang kamu perlu penanganan profesional untuk mengatasi kehaluan kamu akan Devan" ucap Rania kesal dan pergi meninggalkan Arlin.

PERFECT MISTAKE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang