Saat Ella masuk kembali ke kamar usai mandi, Dinda sudah keluar dari sana. Dan kini meninggalkan Adara yang terpaku di pinggir ranjang sambil memegang majalah. Sekilas Ella melihat sahabatnya sedang membaca, namun nyatanya tidak. Adara sedang termangu akibat pembicaraan singkat tadi dengan Dinda. Dan Ella tetap tak mengetahui apapun."Mau go-food, nggak?" tanya Ella, sambil membungkus rambutnya dengan handuk.
Ella memerhatikan Adara yang tidak menghiraukan ucapannya.
"Dar?"
Masih terdiam.
Ella kemudian meraih boneka Doraemon yang tadi digunakan Adara untuk memukulnya dan melempar ke arah Adara.
Adara tersentak. "Apa sih?
Ella berdecak. "Lo nggak dengar tadi gue panggil lo?"
Adara menyesal, tak seharusnya ia memperlihatkan kesedihannya di depan Ella. Kalau sampai wanita itu tahu, maka sia-sia rencananya untuk menyatukan Deva dan Ella.
Sesungguhnya Adara benci mengetahui nama pria yang ia cintai harus bersanding dengan Ella-sahabat tercintanya, tapi inilah kenyataan yang harus ia hadapkan. Ini adalah perwujudan dari kesiapannya terhadap masa depan.
"Sorry, tadi gue abis lihat-lihat parfum cuma mahal banget, jadi gue mikir mau beli apa nggak," dusta Adara.
"Yaelah, Dar. Pacar lo kan pengacara, duitnya banyak. Minta beliin aja ke dia," sahut Ella. Wanita menghempas tubuhnya ke kasur.
"Yakali, La. Parfum doang minta dibeliin."
Ella terkekeh. "Lupa, Dar. Lo kan nggak matre kayak gue ya."
Adara tertawa. "Jiwa matre lo harus dipertahankan biar beda sama wanita lain." Kemudian mereka tertawa.
"Btw, lo nggak ada niatan nikah dalam waktu dekat gitu sama Deva?" tanya Ella.
"Nikah? Nggak ada. Kita lagi sibuk sama karir masing-masing," kata Adara, tak sepenuhnya bohong. Memang mereka sedang sibuk namun bukan berarti tak ingin menikah.
Seperti yang Deva bilang; menikah adalah tujuan bagi hubungan mereka. Pada saat itu Adara tersentuh sekali, tetapi sekarang rasanya ia ingin menertawakan dirinya sendiri.
"Karir bisa dibangun sambil nikah. Lo nunggu apalagi emang? Ekonomi? Nggak usah ditanya, kalian pasti sudah siap buat sekarang dan masa depan. Mental? Gue kasih tahu, Dar. Si Deva tuh kayaknya sudah siap banget jadi suami dan lo juga sudah pas jadi istri dia. Lagipula 24 tahun itu ideal, kok," cerocos Ella.
Adara tersenyum. "Bukan gitu, La. Menikah nggak semudah itu, lebih berat dari apa yang kita lihat."
Berat dalam maksud lain bagi Adara. Berat sekali menuju ke sana.
"Iya, Dar. Gue tahu menikah nggak semudah ngomong ngajak pacaran. Tapi beda kasusnya sama lo. Dara, lo itu sudah dikasih pasangan nyaris sempurna kayak Deva yang sayang dan cinta mati sama lo. Gue yakin konsep pernikahan buat dia bukan sekadar buat ena-ena doang."
Jujur saja jika Adara masih tak mengetahui masalah ini, dia tidak akan pernah mencurigai penuturan Ella. Adara kaget karena Ella bisa-bisanya bertindak seperti tak tahu apa-apa. Sebiasa mungkin bahkan pada saat Deva terlibat dalam pembicaraan mereka. Dia mengerti sekali maksud Ella yang berusaha mempertahankan hubungan Deva dengan dirinya. Maka memang benar pilihan almarhum ayah Deva, Ella adalah wanita yang baik dan penyayang walau Adara tahu terkadang jiwa bar-bar Ella bisa saja muncul.
Tiba-tiba saja Adara tertarik dengan pembahasan mereka yang melibatkan Deva dan pernikahan.
"Kalau menurut lo, Deva termasuk kriteria pasangan hidup lo, nggak?" tanya Adara, dia membaringkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar di sebelah Ella.
![](https://img.wattpad.com/cover/164269216-288-k58972.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomanceKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...