Adara menepati janjinya untuk datang ke kafe Theo pada siang hari, tepat jam istirahat kerja Deva. Dia membawa beberapa masakan untuk Deva dan Theo. Salah satunya adalah tumis buncis, favorit Deva.
Adara melambaikan tangannya ketika melihat Deva masuk ke kafe. Dia tak bisa menyembunyikan senyumannya. Padahal semalam mereka baru bertemu tetapi rindu selalu menyerangnya.
"Hei," sapa Deva lalu mengecup kening kekasihnya.
"Aku masakin kamu tumis buncis, ayam goreng, sama ikan balado," kata Adara dengan semangat menunjukkan satu-satu mahakarya dari dapurnya.
Deva tak tahan untuk tidak tersenyum. Sikap Adara siang ini berhasil menepis ketakutannya tadi pagi akan keraguan wanita itu.
Ya, Adara bukan ragu. Tapi dia hanya mempertimbangkan masa depannya. Begitulah Deva menarik kesimpulan.
"Nggak apa-apa makan di sini? Nggak ganggu pengunjung lain?" tanya Deva, melirik Theo dan Adara bergantian.
Sepertinya kebanyakan kedai, biasanya mereka melarang pengunjung membawa makanan dari luar.
"Sudah aku sogok pakai ayam goreng masih nggak boleh, awas aja." Adara melirik Theo sambil menyeringai.
"Kalau gue nggak kasih, gue yang ditampol dia," kata Theo.
"Makanya punya pacar biar bisa di masakin tiap hari," sahut Adara, yang sedang menyiapkan makanan.
Theo berdecak. "Mulai deh," ucapnya, tak suka jika ada yang mengungkit urusan asmaranya.
"Bukannya cewek lo banyak?" Deva menimbrung. Kira-kira hanya itu yang ia tahu dari Theo. Playboy.
"Dia mau tobat katanya. Nggak tahu deh playboy kalau ngomong tobat itu beneran atau nggak," sindir Adara. Sebab sudah kesekian kali sahabatnya berkata akan tobat namun tetap mengulangi lagi.
"Kok lo jadi underestimate gue? Lihat dong, Dar, gue sudah jarang ke club. Nggak pernah lagi tuh gue sembunyi di rumah Ella karena dikejar cewek-cewek," ujar Theo, dengan wajah masam.
Deva tertawa. "Jadi playboy tuh nggak salah kok. Asal tahu cara mainnya," timpal Deva.
"Kamu dulu playboy juga?" Adara menatapnya. Kemudian menyodorkan kotak bekal yang sudah ia isi nasi dan lauk.
Deva menggeleng. "Aku nggak tahu. Tapi dulu aku suka juga ke club, gonta ganti pasangan tiap pergi. Dulu banget. Waktu kuliah," katanya, tak ingin Adara salah paham.
"Tuh! Dengerin, Dar. Playboy itu sudah naluri pria." Theo membela diri.
"Iya, iya. Dua lawan satu bisa apa," kata Adara, tak acuh.
Deva membelai rambut wanita itu. "Becanda, sayang."
Adara hanya berdeham, dia memilih diam menunggu kedua pria itu makan. Sesekali Adara menyeka sisa makanan yang tertinggal disudut bibir Deva dengan tisu. Dia juga tak lepas menyandarkan kepalanya di lengan penuh otot milik Deva.
"Kamu sudah makan?" tanya Deva.
Adara mengangguk. "Di rumah tadi. Makan duluan."
"Mau lagi?" Deva mengangkat sendok yang berisi nasi dan potongan lauk.
Adara membuka mulut dan menerima suapan dari pria itu.
"Enak, nggak masakanku?" tanya Adara.
Deva mengangguk. "Lolos jadi calon istriku ini mah."
Adara tertawa. Sesekali mereka melempar gurau. Tawa dan senyuman mereka membuat Theo meringis. Baginya, mereka adalah pasangan serasi dan bahagia. Namun mengapa cobaan datang begitu berat untuk keduanya?
![](https://img.wattpad.com/cover/164269216-288-k58972.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomansaKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...