• Saya sarankan kalian putar mulmed di bab ini ya supaya tambah baper ❤
•
•
•
•
Hidup terkadang begitu menarik ketika bahagia datang. Namun kadang kala kita lupa juga bahwa ketika bahagia surut maka tibalah saatnya sedih yang datang. Mereka akan datang bergiliran, mengisi ruang-ruang kekosongan pada hidup manusia. Tanpa mereka hidup manusia akan monoton tanpa gelombang yang menarik untuk diceritakan, diresapi, dan dipelajari. Tanpa mereka manusia tak akan paham apa arti berjuang dan bersyukur.Pernah Adara berpikir tentang hidupnya yang begitu monoton atau bahkan kelewat sial. Saat remaja dia pernah berpikir mengapa hidupnya tak seperti para teman sebayanya. Ketika menjajakan kaki di dunia sekolah menengah akhir, dia nyaris mendapat label katro apabila tak bertemu dengan Ella dan Theo yang pada saat itu termasuk siswa gaul.
Kemudian sekian tahun setelahnya ia mendapat kesialan beruntun sehabis dijejalkan kebahagian. Kehilangan satu-satunya malaikat dalam hidupnya, sang ayah dan pria yang memutarbalikkan hidupnya serta membawanya bangkit dari keterpurukan, sang pengacara.
"Dara? Kok melamun?"
Adara mengerjap ketika mendengar suara lembut itu. Dia memfokuskan kembali pikirannya yang sempat berkelana sesaat.
"Maaf, Tante."
Dinda tersenyum kemudian meraih tangan Adara dipangkuan gadis itu.
"Tante harap kamu mengerti," kata Dinda, nyaris berbisik.
Adara melihat tatapan penuh harap dari bola mata cokelat milik wanita paruh baya dihadapannya. Sungguh sepenuh hati ia ingin berteriak berlawanan dengan apa yang akan ia katakan berikutnya.
"Iya, Tante. Dara mengerti, kok. Lagipula pilihan orang tua pasti yang terbaik untuk anaknya. Terima kasih karena Tante Dinda sudah mau jujur ke Dara terkait masalah ini," ujar Adara, sambil tersenyum.
"Tante cuma nggak pengin terkesan berkhianat dengan kamu. Seandainya Deva bukan anak teman Om Tanu, mungkin hati Tante juga nggak akan seberat ini. Kalau aja perjodohan itu buka wasiat dari almarhum ayahnya Deva, mungkin juga Tante bisa batalkan semua," ucap Dinda, dengan raut wajah sedih.
Adara mengusap salah satu lengan Dinda dan tersenyum penuh pengertian.
"Iya, Dara mengerti. Tante nggak usah banyak pikiran lagi ya tentang ini, nanti Tante sakit lagi. Pokoknya Tante jangan khawatir, Dara akan usahakan supaya semua berjalan lancar," kata Adara.
Dinda mengangguk. "Terima kasih banyak, ya, Nak."
Tapi tetap tak bisa ia elakkan juga bahwa ada secuil bagian dari hatinya memikirkan perasaan dan kondisi Dinda. Sebagai seorang gadis yang tumbuh dalam keadaan kekurangan kasih sayang seorang ibu, Adara berusaha paham apa yang Dinda inginkan. Mungkin jika ibunya masih ada, beliau juga akan mengusahakan yang terbaik untuk dirinya.
Tak lama kemudian terdengar pintu utama diketuk dan Adara menawarkan diri untuk membukakan siapa yang bertamu. Dan ia sedikit menyesal ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya saat ini.
"Dar? Sedang apa kamu di sini?" tanya pria berkemeja abu-abu muda itu tanpa menyembunyikan raut wajah terkejutnya.
"Kamu juga mau ngapain ke sini?" tanya Adara balik setelah diam beberapa detik.
"I-itu M-Mamaku—"
Belum selesai sang pria menuntaskan bicaranya, Adara sudah tertawa duluan.
"Kenapa aku harus tanya ya? Inikan rumah calon mertua kamu," kata Adara.
Raut wajah Deva berubah seketika. Dia tak suka Adara menyebutkan fakta tersebut dengan begitu ringan.
"Adara," tegur Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomansaKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...