"Adara."
Gadis itu menoleh ketika suara yang paling ia kenali memanggil namanya. Dia langsung memberikan senyuman pada pria itu. Adara mengedarkan pandangan dan melihat para tamu sudah berkumpul di taman untuk foto bersama. Dia akan memanfaatkan keadaan sepi ini untuk benar-benar menyelesaikan masalahnya dengan Deva.
Pria itu berbalik badan dan pergi menuju dapur, tempat paling sepi di rumah itu. Adara segera menyusul saat memastikan tak ada orang yang melihat mereka.
"Selamat atas pertunangan kamu," ucap Adara, lebih dulu sambil mengulurkan tangannya.
Deva menerima uluran tangan tersebut. Dia menjabat erat tangan Adara lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Deva mendekap Adara begitu erat, layaknya dua orang dekat yang lama tak berjumpa.
"Maaf," bisik Deva. Dia tak tahu berkata apalagi.
Adara masih mematung. Dia tak menolak namun tidak membalas pelukan Deva juga.
"Pernah jadi orang yang bisa kamu andalkan adalah bagian terbaik dalam hidupku. Kita itu bukan kesalahan, kita cuma salah memilih waktu dan kesempatan. Berjuang untuk kamu adalah pengalaman yang nggak bisa aku lupakan. Setelah ini, aku akan lebih menghargai cinta, perasaan, dan komitmen. Aku akan berjuang lebih keras lagi supaya nggak kembali gagal. Mencintai kamu mengajariku menerima dan lapang dada*. Terima kasih atas semua yang sudah kamu berikan," jelas Deva. Suaranya nyaris berbisik, seperti sedang menahan sesuatu.
Perlahan Adara mengusap punggung pria itu. Dia paling tak suka menahan tangis dan sekarang mau tak mau harus ia lakukan.
"Syukurlah. Aku ikut bahagia hari ini. Doaku selalu yang terbaik untuk hubungan kamu dan Ella." Adara menarik diri dari dekapan Deva.
Mereka saling bertatap. Sama-sama terlihat tegar.
"Aku harap kamu bisa jadi suami yang bertanggung jawab dan setia, jadi ayah yang penyayang dan pengertian, jadi menantu yang berbakti." Gadis itu mengusap lengan mantan pacarnya sambil tersenyum.
"Aku akan jadi seperti yang kamu harapkan," kata Deva.
"Good. Kalau gitu aku pulang dulu." Adara hendak pergi namun ditahan Deva.
Gadis itu memperlihatkan eskpresi bingung.
"Apa Wira adalah orang yang kamu maksud waktu itu? Yang buat kamu jatuh cinta?" tanya Deva.
Adara sempat diam sesaat. Hubungannya dengan Wira memang semakin dekat sejak putus dari Deva. Tapi dia tak tahu menyebutkan apa, jadi ia berikan Deva senyuman sebagai jawaban.
"Ada lagi?" tanya Adara.
"Sampaikan maafku pada Om Denies dan Theo," ucap Deva.
"Aku nggak tahu kamu salah apa sama mereka, tapi nanti aku sampaikan," ujar Adara.
Deva mengangguk pelan. Dia merogoh sesuatu di saku celananya lalu memberikan benda kecil itu pada Adara. Secarik kertas yang sudah dilipat-lipat menjadi kecil.
"Kalau ada waktu, boleh kamu baca," kata Deva.
Adara menatap pria itu, putus asa. "Kalau ini soal—"
"Isinya emang nggak begitu penting. Cuma soal perasaan dan harapanku. Mau kamu buang juga nggak apa-apa," ujar Deva, memotong kalimat Adara.
Mau tak mau Adara menerima. Dia mengangguk dan menyimpan kertas itu sling bag. Tak lama kemudian ada salah satu orang yang memanggil nama Deva. Mendengar suara tersebut semakin dekat, Adara segera pamit dan pada Deva. Dia memutuskan pulang setelah pamit pada keluarga Ella dan Dewita. Sebuah hal yang sangat sulit ia lakukan, jantungnya bahkan berdetak lebih cepat saat bertemu ibu Deva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomanceKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...