Deva yakin yang dikatakan Dinda hanyalah bualan semata namun tetap saja sulit untuk tidak kepikiran semalaman akibat ucapan wanita paruh baya itu mengingat kejadian kemarin siang ketika ia melihat Adara bersama pria lain. Pria yang masih Adara sembunyikan identitasnya dari dirinya hingga saat ini.
Sekarang Deva sedang menunggu Adara di kedai kopi milik Theo. Wanita itu sendiri yang menjadwalkan pertemuan hari ini.
"Dara kemana dulu ya? Jam segini belum sampai." Deva melirik arloji dipergelangan tangan kirinya. Tak biasanya Adara telat.
15 menit lagi jam istirahatnya selesai namun tak ada tanda-tanda kedatangan Adara.
"Mungkin ada urusan mendadak di kantor makanya telat."
Theo yang sedari tadi menyadari kegelisahan Deva beranjak dari belakang coffee maker dan duduk di hadapan Deva. "Atau mungkin dia lupa," lanjutnya.
"Dia nggak pernah lupa kalau buat janji," ujar Deva.
Theo mengangguk. "Ngomong-ngomong, gimana rencana kawinan lo sama Ella? Lancar?"
"Hah?"
"Lo jadi menikah sama dia, kan?"
Deva mendengus. "Lo tahu pilihan gue."
Theo tertawa lalu menggeleng kepala. "Ayolah, Dev. Lo, Adara, Ella, dan gue sama-sama tahu kalau perjodohan kalian susah buat dibatalin. Kecuali lo nekat ngajak Dara kawin lari atau lo hamilin dia. Tapi kalau sampai kejadian pun, masalah dalam hubungan lo dan Dara nggak akan pernah selesai. Lo paham maksud gue, kan?"
"Gue nggak mengerti maskud lo." Demi apapun Deva tak ingin membahas hal tersebut. Lagipula untuk apa Theo ikut campur dalam masalahnya.
"Yasudah biar gue jelaskan. Itu artinya, lo cuma membawa masalah buat Dara. Dari segi apapun, pilihan yang lo ambil cuma akan membebankan Dara. Jadi kalau lo mau nyakitin dia ya sekalian aja. Menikah sama pilihan nyokap lo dan pergi yang jauh. Jangan pernah temui Dara lagi dengan begitu dia bisa tetap menjalankan hidupnya seperti biasa. Ya memang bakalan ada drama sakit hati tapi gue yakin dia bisa lewatin itu semua," kata Theo, tak ada keramahan dalam intonasi suaranya.
"Sebentar, lo ada masalah apa sih sama gue? Kenapa tiba-tiba nyerang gue nggak jelas kayak gini? Gue tahu Dara sahabat lo tapi hidup dia bukan urusan lo juga," balas Deva. Ia mulai tersinggung.
"Kata orang, perasaan itu ada tingkatnya. Yang pertama suka, kedua sayang, ketiga cinta, dan keempat ikhlas. Saat lo sudah ada pada tingkat perasaan yang terakhir, maka yang lo harapkan adalah kebahagiaan dari orang yang lo cinta. Lo ikhlas atas apapun yang terjadi dalam hidupnya asal ia bahagia. Dan ikhlas yang gue maksud adalah tolong lepasin Adara, Dev. Semakin cepat semakin baik." Theo beranjak dan bermaksud kembali ke belakang coffee maker lagi namun Deva menahannya.
"Lo nggak ada hak untuk memandang gue serendah itu. Gue mampu untuk bahagiakan Adara tanpa harus melepaskan dia. Tapi sekarang waktunya nggak tepat, lo juga belum tentu siap ada diposisi gue," ujar Deva, tak senang.
"Buktikan. Kalau ngomong doang juga gue bisa." Theo berujar singkat sembari menepis tangan Deva.
Tak ingin memperpanjang, Deva segera keluar dari kedai milik Theo dengan hati sedikit dongkol. Tak bisa dipungkiri pula bahwa ucapan pria itu telah menyinggung perasaannya.
Ternyata ia lebih lemah dari dugaannya.
Deva memutuskan kembali ke kantor, dia akan mengirimkan pesan pada Adara kalau-kalau gadis itu sudah telanjur datang.
"Lah, lo di sini?" Deva menoleh mendengar suara Xavier bergema ketika ia menunggu lift.
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because Of You ✅
RomanceKeduanya telah melewati batas takdir. Deva dan Adara harusnya hanya terlibat dalam hubungan pekerjaan, tetapi rasa penasaran membawa mereka berjalan lebih jauh hingga melibatkan perasaan. Tak mudah untuk bertahan kala masalah terus menghadang. Akank...