Bagian 6 - Ingin Memastikan

1.3K 230 2
                                    

Rabu, 3 Mei 2017.

Sudah lima menit Caca berdiri di depan pagar rumah Ari. Saat itu ia ingin bertemu pemuda itu untuk membicarakan sesuatu. Sayangnya orang tersebut sedang tidak ada di rumah, begitulah jawaban seorang bapak pemilik rumah itu.

Terhitung sudah dua puluh kali Caca celingak-celinguk melihat seisi jalan yang terlihat sepi. Ia bingung mencari tujuan selanjutnya. Sesekali mendesah, garuk kepalanya, menyisir rambut dengan tangannya. Setelah berpikir keras, akhirnya kakinya melangkah juga.

----00----

"Ari, bisakah kau suruh aku melakukan perintah yang lain selain... ini?" terdengar suara Bono yang begitu kesal.

Ari berada di samping Bono. Ia melipat tangan di dadanya dan mendesah berat. "Tidak, itu hanya dua perintah yang mudah. Apa susahnya jika harus datang ke pasar baru dan pergi ke kios pedagang beras di belakang pasar? Sekalian membeli mie ayam buat kita berdua."

"Aku sih mau membelikan mie ayam dengan uangmu. Tapi buat apa aku beli beras juga?"

"Beli beras?" ucap Ari kebingungan. Setelah beberapa saat ia menepuk dahinya sendiri. "Bon, aku tidak bermaksud membeli beras. Tapi di kios itu Didi bekerja disana. Siapa tahu kita bisa mencari keberadaannya."

"Ari, apa kau bisa berhenti mengkhawatirkan dia? Didi bukan anggota keluargamu. Dan masalah hilangnya anak itu sudah menjadi urusan sekolah, wali kelas kita, dan keluarga anak itu. Jangan kau ambil pusing soal dia."

"Tapi sebagai teman satu bangku dan teman satu SD dulu, aku juga patut mendapat urusan itu!" seru Ari.

Bono tercengang. Baginya Ari benar-benar keras kepala, sejalan dengan kecerdasannya. Sejak awal masuk SMP, Bono sudah akrab bagaimana tingkah seorang teman yang memiliki otak encer. Kecerdasan Ari sudah terlihat bahkan sejak ulangan harian pertamanya di kelas. Bisa dibayangkan, dari semua mata pelajaran di sekolah tak ada satupun yang nilainya di bawah delapan puluh.

Dua tahun silam, salah seorang wanita muda, guru Matematika baru di kelas itu, tidak habis pikir dengan setiap nilai yang dicapai seorang Ari Setyo.

"Ini aneh sekali. Dari semua ulangan harian selama semester ini, rata-rata nilai di kelas ini bernilai antara lima puluh hingga tujuh puluh. Namun lagi-lagi, Ari Setyo kembali mendapat nilai di atas rata-rata, sembilan puluh!" kata guru itu.

"Itu tidak aneh sih, Bu." Seorang siswa menyahut, "Ari sejak awal memang begitu. Ilmunya tidak mau dibagi sama kita. Jadi nilainya paling menonjol."

"Aku saja yang ikut les masih kalah sama dia, Bu," imbuh siswa yang lain.

Tanpa sadar beberapa siswa yang lain saling mengungkapkan pendapatnya.

"Si Ari sejak SD sering dapat peringkat satu."

"Dia memang pintar, sampai-sampai aku kalah saingan nilai dengannya."

"Dia pintar sih di kelas. Tetapi ketika pelajaran olahraga dia malah yang paling kurang."

"Ari mungkin lemah soal olahraga. Tapi soal pelajaran, dia tidak se-payah itu deh."

"Benar, dia memang tidak terlalu jago main sepak bola, voli, atau basket. Tapi aku akui otaknya memang cerdas."

Lama-kelamaan seisi kelas ramai membicarakan Ari. Guru itu hanya diam, mencoba berpikir sesuatu. Tak lama ia menatap dua siswa selain Ari yang tampak tenang, mengabaikan semua gemuruh dari mulut-mulut yang tidak jelas.

"Nah, bagaimana dengan pendapat dari orang paling gemuk itu?" tanya guru kemudian.

Bono terpaku, memandang semua mata yang tertuju padanya. "Ari, bukan siapa-siapa bagiku. Dia hanya teman satu kelas. Itu saja."

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang