Bagian 27 - Mulai Bertindak

694 137 0
                                    

Didi dan Ruli sudah mendatangi beberapa tempat di desa Sukamara. Kenyataannya, Wijaya tidak ada di pasar lama yang sampai saat ini masih belum dibongkar dengan alasan yang tidak jelas. Orang itu tentu saja tidak ada di rumah tua di hutan tempat Didi sempat datangi tadi malam—ia masih merahasiakan kejadian itu kepada temannya. Ruli juga berusaha menghubungi semua teman dan orang kenalan Wijaya, namun tidak ada satupun yang membalasnya.

Sampai saat ini, mereka duduk di depan pintu rumah Ruli. Didi bisa melihat temannya yang sangat gelisah dan duduk lemas di sampingnya, tidak peduli dengan pemandangan indah di hadapannya yang seharusnya menyejukkan pikiran.

"Bagaimana aku bisa tenang? Sudah semalaman paman aku hilang." Ruli bersuara serak.

"Apa ada sesuatu yang terjadi pada pamanmu sebelumnya?" tanya Didi lesu.

"Entahlah. Mungkin aku menyinggung dia soal orang tuaku."

Didi termenung. Ruli pernah bercerita padanya tentang kehilangan ayah dan ibu orang itu. Karena sampai sekarang masih belum ditemukan padahal Ruli sudah berusaha menemukan mereka dengan berbagai cara. Bisa dipastikan bahwa mereka sudah meninggal.

"Apa kamu marah karena pamanmu menyerah mencari ayah dan ibumu?" Didi terus bertanya.

Ruli mengangguk pelan. Tatapan matanya kosong.

"Apa kau tahu sesuatu yang disembunyikan pamanmu?"

Lagi-lagi Ruli mengangguk lemas.

"Maafkan aku, Rul. Sebenarnya aku sangat membenci paman kamu itu."

Barulah Ruli menegang. "Apa katamu?"

"Aku sangat curiga padanya." Didi geram. "Dari penjelasan dia tentang kutukan yang menimpa aku dan keluargaku, ekspresi dia saat membaca buku lama ayahku, dia bahkan mengetahui kepribadian dan identitas aku. Sekarang aku percaya dengan ucapan Pak Cokro kemarin. Wijaya adalah sang 'penghasut' yang ingin membunuh kami!"

"Jadi begitu rupanya. Ternyata kecurigaan aku selama seminggu ini benar."

Tiba-tiba Didi tercengang. "Kau sudah tahu?"

"Pamanku punya catatan rahasia di kamarnya. Aku sudah baca beberapa. Mungkin kau belum melihatnya?"

Didi melirik kamar pamannya Ruli dari jauh dengan pintunya yang masih terbuka, begitu berantakan bila terlihat dari balik pintu. Ia sempat masuk ke dalam dan melihat beberapa catatan. Namun isinya tak lain adalah sisi lain kehidupan beberapa keturunan Subagyo, bukan hal yang penting.

"Sayangnya sebagian dari catatan dia sudah hilang atau disembunyikan olehnya." Ruli menambahkan.

Hening, Didi hanya menanggapi ucapan itu dalam diam.

"Kenapa kau baru bilang sekarang kalau orang itu mencurigakan?" imbuh Ruli.

"Terus mengapa kau diam saja dan membiarkan pamanmu berbuat sesuka dia?" Didi membalasnya kesal. "Kau ini seharusnya mencegah kutukan itu atau melindungi kami. Kau bisa lawan paman kau atau membunuhnya sekaligus."

"Kau itu egois sekali, Didi!" bentak Ruli yang ikut berdiri. "Kau hanya mementingkan hidupmu sendiri. Aku menyesal berteman denganmu dan menjadi umpan untuk menjemput kematian kau sendiri!"

"Dasar—" Baru saja Didi berteriak marah, sebuah nada singkat dari ponsel mendadak muncul. Ia buru-buru meraba sakunya dan mendapat ponsel. Lalu Didi membaca sebuah pesan singkat yang langsung membuat wajahnya pucat. "Aku harus pergi. Priyanto memanggil aku."

"Duh si kepala batok sial itu!" bisik Ruli kesal, membiarkan Didi pergi begitu saja.

----00----

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang