Bagian 25 - Ada yang Salah

712 136 0
                                    

"Satu...dua...tiga...!"

Cekrek!

Sebuah kamera langsung menangkap sebuah foto yang menggambarkan tiga sosok manusia, Didi, Priyanto, dan Cokro.

"Ah... mataku panas!" jerit Priyanto seraya menggosok kedua matanya setelah berusaha melotot ke arah kamera.

Didi tertawa geli melihat tingkah aneh Priyanto. Kemudian pandangannya menatap Cokro yang melihat hasil foto di kamera.

Cokro pun memandang puas hasil foto barusan. "Coba lihat kesini, Dik!"

Didi mendekati Cokro dan melihat hasil foto tersebut. "Wah, itu keren. Aku suka."

"Kalau aku ajak istri dan putriku, pasti akan jauh lebih lengkap." Cokro menekan beberapa tombol pada kamera. "Dan jadilah, foto generasi terakhir Subagyo yang terkutuk."

Didi menanggapinya santai. "Itu malah menjadi sangat keren."

Akhirnya Priyanto sudah kembali tenang. "Astaga! sejak awal aku tidak mau difoto kayak begitu. Mataku sudah ndak kuat lagi."

"Tapi kita mungkin masih harus difoto lagi. Karena istri dan anaknya pak Cokro juga harus ikut berfoto," sahut Didi.

"Duh, bojo sama anak kenapa diajak sekalian? Kayak foto keluarga aja."

"Karena kita memang satu keluarga."

Priyanto hanya terkekeh, menyadari hal itu. Benar juga, kita satu keluarga yang dikutuk mati.

Cokro sibuk memindahkan hasil foto tadi ke dalam ponsel. Didi sama sekali tidak paham dengan teknologi zaman sekarang. Melihat kesibukan bapak itu saja membuat kepalanya pusing.

"Nah, aku akan pergi mencetak foto ini. Tolong titip kamera ini sebentar! Atau kalian boleh coba berfoto lagi dengan kamera itu." Cokro tersenyum lalu berjalan keluar rumah.

Langsung saja Priyanto menggeleng kepalanya kuat-kuat. Tentu saja ia tidak mau difoto lagi. Namun Didi justru mengambil kamera itu.

"Jangan difoto, Thole!" sergahnya. "Aku tidak mau."

"Siapa juga yang mau foto? Aku mau lihat gambar yang tadi." Didi memencet beberapa tombol dengan susah payah. Ekspresi dia seperti orang kebingungan. "Daripada bengong mending siapkan kertas gambar dan pensil warna buat dibawa kesini."

"Loh, begitu ya? Aku tak sabar melihat seorang seniman mulai beraksi." Giliran Priyanto yang terkekeh dan berlalu meninggalkan Didi yang serius mengutak-atik kamera yang sangat tidak dipahaminya.

----00----

Sebuah pantulan cahaya tepat mengenai mata seorang pria paruh baya yang baru saja terbangun dari tidak sadar. Ia mengerjap kedua mata dan mulai terlihat sebuah gudang yang kotor dan berdebu. Luasnya sebesar ruang kamar mandi pada umumnya.

Ia merasakan tangan kanannya yang bengkak akibat suntikan yang menyakitkan. Sementara kakinya terikat tali berukuran besar dan tersambung ke dinding ruangan. Tubuhnya hanya bisa terbaring lemah karena efek suntikan yang belum mereda.

Dirinya memang sedang disiksa, sebab itu dia diculik. Tetapi siapa yang menculik dirinya?

Terbukalah sebuah pintu, berikut tiga orang yang masuk ke dalam ruangan yang ia tempati sekarang. Mereka tersenyum sinis dengan tatapan membunuh. Ada seorang wanita yang sangat dikenalnya, beserta dua pria berumur lebih muda yang mendampingi wanita itu.

"Halo, tuan penghasut," sapa wanita itu, "Wijaya yang perkasa?"

Dia tahu namaku? Padahal aku juga tahu namanya, batinnya. "Kau itu... nyonya Manti, 'kan?"

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang