Bagian 9 - Hal Berbeda

1.2K 208 3
                                    

Sudah lima belas menit Caca berdiri di luar rumah Bono. Kini tangannya yang mungil memegang sebuah amplop yang belum terbuka. Memang ada sesuatu di dalam amplop itu. Namun ia tidak ingin mencari tahu isi dalamnya. Sampai kini benda itu ada di genggaman miliknya. Ia hanya menatap benda itu yang masih utuh. Namun isi di dalam tak kunjung terungkap.

Bono berjalan keluar rumah, menyusul Caca. "Hei, bisa masuk lagi kedalam? Aku akan membuatkan jus buah naga untuk kita minum."

Caca menoleh singkat ke arah Bono, lalu kembali membelakangi orang itu sambil mendengus. Ia melipat kedua tangannya, dengan surat yang masih dipegangnya.

"Ayolah, aku janji tidak akan bahas yang itu padamu." Bono terus membujuk.

Hening, tidak ada respon.

"Apa kamu begitu marah sama kakakmu yang penyayang ini?" tambah Bono, "Aku janji tidak akan mengintip isi surat yang kamu bawa itu."

Masih sama seperti tadi. Caca menggenggam amplop itu kuat-kuat. Sebenarnya ia merasa tersinggung dengan kakak sepupunya itu. Sewaktu Bono sempat mengambil sesuatu di dalam tas, tanpa sengaja amplop itu terjatuh. Ia berhasil mengambil benda itu. Tetapi Bono menduga bahwa surat itu berasal dari Ari sehingga orang itu mulai menggoda dirinya dengan wajah usil. Padahal ia sendiri berusaha merahasiakan itu.

"Dik Mischa," ucap Bono akhirnya, "Ya... aku tidak ingin membuat kamu teringat masa kecil yang kelam itu. Tetapi kita bisa coba cari tahu bagaimana—"

Caca langsung menatap Bono. "Memang Kak Bono tahu apa perasaanku sekarang? Dan ini tidak ada hubungannya dengan masa laluku!"

"Oke, Mischa. Aku hanya—"

"Kenapa baru kali ini kau memanggilku Mischa?" sela Caca.

"Sengaja. Biar kamu berhasil dibujuk, begitu saja."

Caca kembali mendengus.

"Tapi kau tahu, itu juga nama gadis yang dicari oleh Ari. Seandainya itu adalah dirimu, maka...," Bono bisa melihat perubahan wajah sepupunya itu, lalu ia berubah pikiran. "Yah, kalau kamu mau tunjukkan surat itu, aku janji tidak akan bocorkan pada siapa-siapa."

Caca tertegun. Ia tatap lagi surat yang tidak sengaja ditunjukkan. Mungkin Bono tidak mengetahui beberapa hal. Bagaimanapun, ia tidak bisa memendam semua itu sendirian. Sementara itu, tidak ada seorangpun yang cocok sebagai tempat curahan isi hatinya. "Janji jangan bilang siapapun?"

Bono sempat terkejut, lalu mengangguk cepat, "Iya aku janji. Kamu tidak marah, 'kan?"

Bagaimana mungkin Caca akan terus marah jika orang yang dipercaya bisa membantunya? Maka sebagai jawaban dia menggeleng saja.

"Ah, oke. Sekarang kita ke dapur bikin jus buah naga. Ayo!" sambut Bono kemudian.

Seketika seulas senyuman kembali tampak pada wajah gadis itu.

----00----

Kini Didi dan Ruli duduk di depan bekas kios pasar milik ibunya. Meskipun sudah kosong, rupanya masih terlihat kokoh dan tiada atap berlubang.

"Sebelumnya bagaimana pasar ini ditutup, sampai ada rencana akan dibongkar saat ini?" Didi mulai bertanya.

Ruli menghela nafas sejenak. "Mungkin ini panjang ceritanya, tetapi ini yang aku tahu sejauh ini—"

"Tunggu, kita mulai dari saat setelah bapakku mati," sela Didi mendadak.

"Kau pasti tahu bagaimana tanggapan orang sekitar pasar ini sejak lama." Ruli mulai menjelaskan. "Disini sering terjadi kecelakaan yang selalu memakan korban. Dan semua kronologis terjadinya kecelakaan itu relatif sama. Sejauh ini menurut catatan polisi, kematian bapakmu sudah menjadi korban keempat puluh sembilan. Mungkin saja tiga tahun kemudian, lebih tepatnya tahun ini, akan ada korban kelima puluh. Dan rumornya sih, itu akan mengakhiri semua kasus kecelakaan yang terjadi beruntun disini."

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang