Bagian 30 - Braak!

759 135 0
                                    

"TIDAK!"

Tiba-tiba saja Didi berteriak keras setelah apa yang baru saja didapatinya.

Tetapi...

Ia masih berada di dalam ruang tamu rumahnya. Kedua tangannya masih merangkul sebuah tas. Sementara di luar rumah masih terlihat redup. Ia menengok jam dinding. Sudah jam delapan pagi.

Didi perlahan bangkit dan berjalan keluar rumah. Ternyata matahari sama sekali tidak muncul akibat tertutup awan-awan hitam yang tidak ada habisnya. Kemudian ia menemukan sebuah sepeda onthel yang tergeletak di depan rumah.

Itu sepeda Ruli, pikirnya, lalu dimana orangnya sekarang?

Lalu ia bergegas ke belakang rumah dan melintasi jalan yang diapit sawah yang sudah ditumbuhi jagung-jagung muda. Setelah itu ia menyusuri kandangnya, bekas rumah orang tuanya dulu.

Tidak ada sosok bernama Ruli Ahsan. Lantas, pergi kemanakah orang itu?

Mau tidak mau Didi harus mencari teman baiknya itu.

----00----

Tidak ada yang tahu dimana letak pasti tempat Wijaya berdiri saat ini. Sejauh ini hanya hamparan hutan hijau yang terlihat. Sebuah keris sudah menyatu dengan tanah di bawah sebuah pohon besar nan tua. Wijaya pun mundur lima langkah sambil menatap keris itu. Hembusan angin menembus tubuhnya yang tegap. Sementara gugusan mendung hitam sedang menyambutnya. Bahkan sang Mentari yang ingin melihat dirinya diusir oleh mereka.

Wijaya tahu, ini adalah hari yang sangat penting. Hari kutukan yang istimewa. Ia memastikan bahwa ada empat orang yang akan mati pada hari ini. Ya, semua keturunan Subagyo yang tersisa sedang menuju titik yang menjadi tempat kematian mereka. Disana, seseorang kesayangan target sudah menunggu. Target lain pengendara mobil juga sedang menuju kesana.

Perlahan namun pasti, segaris cahaya matahari menyentuh keris yang seolah menyatu dengan pohon itu.

"Kanjeng Tari kang mulia, kula sampun jalani tugas mulia kang diwariskan saking keluarga Kanjeng. Menika kula pasrahkan segala-ipun dhumateng mulia Kanjeng. Kula nuwun... kula nyuwun...,"

Entah mengapa tiba-tiba Wijaya mulai kehilangan kata-katanya. Selama ini dia ingat betul semua doa dan mantra yang diucapkan.

Ada yang tidak beres.

Insting menyebut ada penyusup yang tak sengaja datang kemari. Namun bukan untuk menyaksikan dirinya, melainkan untuk mengacaukan upayanya. Padahal semua target yang akan dikutuk sudah terpancing untuk datang ke satu tempat yang sudah disiapkan.

Didik Bramantyo menjadi target kutukan kali ini dan sedang lari ke pasar lama.

Cokro adalah penabrak target, sedang melaju mobilnya.

Sementara Manti dan Erni Kartika mencoba menyusul Cokro.

Lalu Arif Priyanto...

"Aku tidak akan mati, Bodoh!" Tiba-tiba sebuah suara keras mengejutkan Wijaya.

Ia sempat berbalik ke belakang, namun serangan mendadak dari Arif Priyanto langsung membuatnya terjatuh dan akhirnya tubuhnya terasa kaku karena beban dari orang itu.

"Akhirnya aku puas juga menemukanmu! Sekarang aku akan membunuh kau dan kutukan sialan ini akan berakhir!" geram Priyanto.

"Kau sudah terlambat," ucap Wijaya agak sesak. "Sekarang kutukan sedang berlangsung!"

"Kau belum menyelesaikan mantra sehingga kutukan ini belum terjadi, iya 'kan?"

Wijaya berusaha mendorong Priyanto sekuat tenaga. Namun ia justru mendapat pukulan keras di wajahnya. Cincin akik yang dikenakan Priyanto rupanya lebih keras dari batu.

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang