Bagian 16 - Rahasia Buku Tua

1K 172 2
                                    

Didi baru saja memasuki rumah dan melihat jam dinding di ruang tamu, jam setengah dua siang. Ia menaruh kantong belanjaan di meja dan memanggil Priyanto. Awalnya tidak ada balasan. Namun setelah panggilan ketiga masih tidak ada perubahan, ia mulai mencari orang itu.

Memasuki dapur, Didi menemukan Priyanto yang sedang memandang rumah orang tuanya dari jendela.

"Pak Yanto, aku sudah bawakan makan siang untuk kita. Ayo kita makan di depan!" ucap Didi.

Tidak ada tanggapan. Priyanto hanya menatap kosong dengan wajah yang sedikit pucat.

Apa yang baru saja terjadi dengannya?

Sejauh ini penampilan orang itu tidak berubah sejak terakhir kali bertemu beberapa saat lalu. Didi agak penasaran dengan pakaian yang dikenakan Priyanto. Atasannya berupa kemeja polos berlengan panjang dan bawahannya berupa celana panjang. Keduanya memiliki kesamaan, sama-sama berwarna hitam.

Sejurus kemudian, Didi berjalan menghampiri orang itu. Dari dekat ia menyadari bahwa tubuh orang itu sedang gemetar. Kedua tangan orang itu mencengkram kayu pada bagian bawah jendela, cukup kuat. Kepala Priyanto terlihat kaku. Bahkan kedua mata orang itu sama sekali tidak berkedip.

Ia mulai mengangkat tangannya, menyadarkan Priyanto.

"Aku tidak mau mati... Jangan bunuh aku...!"

Suara Pak Yanto bergetar lirih, menguatkan ketakutan yang semakin tinggi. Didi sudah tidak tahan, maka tangannya langsung menepuk bahu orang itu dan menahannya dengan kuat. "Ada apa?"

"Aku takut sekali, nak! Tolong lindungi aku dari kematian!" racau orang itu.

"Pak Yanto baik-baik saja?"

"Tidak! Rasanya aku sedang sekarat!" Pegangan tangannya dari jendela terlepas. Nafasnya tersendat-sendat. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh ke sembarang tempat. Didi langsung memberi sandaran kepada orang itu, mencoba menenangkannya.

Didi sama sekali tidak tahu apa yang terjadi kepada Priyanto. Apakah orang itu sedang sakit jiwa? Atau kesurupan?

Perlahan-lahan orang itu tenang dengan sendirinya. Rasa takutnya berangsur menghilang. Nafasnya pun kembali teratur. Ada satu obat yang seolah menyembuhkan orang itu.

Didi tanpa sadar sedang memeluk Priyanto.

"Aku ambil air buat pak Yanto, ya?" tanya Didi memastikan.

Priyanto mengangguk, lalu keduanya langsung melepas pelukan. Didi mengambil segelas air lalu memberikannya pada orang itu.

"Maaf, aku sering begini pas lagi sendirian. Biasanya kalau sudah parah aku bisa merusak barang di sekitarku," ucap Priyanto lirih. Lalu meminum segelas air.

Didi mengangguk. Ia mungkin harus bertanggung jawab dengan reaksi mendadak yang ditimbulkan Priyanto. "Kalau sudah baikan, ayo kita makan."

Priyanto hanya menurut ajakan pemuda itu.

Sudah setengah jam berlalu dan dua soto ayam yang dibeli di warung dekat supermarket habis dimakan mereka berdua.

"Aku baru saja bertemu pemuda seumuran denganmu di rumah lama." Priyanto mulai cerita.

"Siapa dia?" tanya Didi, lalu meminum segelas air putih.

"Satyo, katanya dia teman lamamu."

Didi merasa bingung. Gelas pun ditaruh di meja. "Aku tidak kenal temanku yang bernama Satyo."

"Anehnya dia tahu sesuatu tentang dirimu. Dia mengenal dirimu dengan nama Didi."

"Nama lain aku? Oh, begitu." Didi tidak terkejut karena seantero sekolahnya saat itu mengenalnya dengan sebutan 'Didi'.

Didi(k) Ada Apa Denganmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang