"Aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu. Bukan salahnya jika memang sudah waktunya untuk mati."
Didi duduk di salah satu bangku tak terawat bersama seorang lelaki paruh baya di sampingnya di bekas pasar Sukamara. Orang itu merupakan teman dekat ayahnya.
"Aku masih tidak ingat kapan kita terakhir kali bertemu." Pemuda itu tampak tidak mengenali pria itu.
"Kau sangat kecil saat itu. Sampai sekarang aku hafal namamu. Didik, satu-satunya anggota keluarga besar Subagyo yang berawalan 'D'. Itulah yang istimewa untuk kategori nama," ucapnya, "Aku Priyanto, panggil saja Gus Thok. Itu kalau kau mau coba kembalikan ingatan yang dulu."
"Oke, Gus Tok." Didi mencoba menyebut nama yang benar. "Tok... Gus ttok, Gus thok..."
Priyanto terkekeh pelan. "Tidak usah diulang-ulang. Itu tidak lucu."
"Maaf, tapi namanya agak aneh bagiku. Mengapa dipanggil Gus... Thok?"
"Ya... karena itu mengingatkan aku tentang persamaan antara kepala manusia dan batok kelapa."
Didi baru mengangguk-angguk setelah melihat bagian atas kepala Priyanto. "Kalau kupanggil Pak Yanto saja bagaimana?"
"Ya sudah tidak apa-apa." Priyanto mendongak keatas. "Itu panggilan yang sering disebut oleh ibuku dan istriku dulu."
"Jadi Pak Yanto sudah menikah?"
"Dua tahun setelah bertemu dirimu untuk kali pertama, iya... sudah."
"Dimana istri bapak sekarang?"
"Jangan panggil aku bapak. Aku bukan orang yang pantas untuk dihormati." Pak Yanto mengingatkan. "Ya, wanita yang aku cintai sudah pergi lebih dulu."
"Maksudnya meninggal?"
"Dia sempat pisah dariku, sampai akhirnya meninggal juga."
"Mengapa bisa begitu?"
"Sama seperti bagaimana ayah dan ibumu meninggal. Benar 'kan, Thole?"
Didi tertegun. Apakah Pak Priyanto juga terkena kutukan seperti dirinya? "Bapak..."
"Sudah dibilang jangan panggil bapak!" potong lelaki paruh baya itu.
"Pak Yanto tahu sesuatu tentang kutukan?"
"Tentu saja aku tahu. Itu sudah menjadi bawaan dari leluhur kalian."
"Apakah pak Yanto satu keluarga denganku?"
"Tidak satu keluarga sebenarnya." Priyanto menghela nafas. "Tapi sebenarnya ada penghubung antara kita masing-masing agar bisa jadi satu keluarga."
Didi tengah berpikir keras. Ia masih mengingat kutipan-kutipan dalam buku tua yang ia baca kemarin.
"Sekarang sudah siang. Kita harus keluar dari sini," ajak Priyanto sambil berdiri. "Boleh aku menginap di rumahmu?"
"Bap—eh maksudku... Pak Yanto dulu tinggal dimana?"
"Kalimantan. Tapi tadi malam baru sampai disini. Susah cari tumpangan buat tidur di desa ini. Kau tidak keberatan, 'kan?"
Didi ikut berdiri dan tersenyum. "Kalau begitu baiklah."
----00----
Priyanto sudah tidur selama dua jam pada kursi tamu berbahan kayu jati—ternyata sedikit menyejukkan badannya—di rumah Didi. Semua barang bawaannya masih ada di sampingnya, sebuah kardus ukuran sedang dan ransel hijau tua. Sementara Didi keluar dari dapur membawa dua mangkuk mie instan rebus, lalu menaruhnya di meja tepat di depan Pak Priyanto. Ia memang tidak begitu kenal bapak itu. Dan ia tidak tahu mengapa orang itu tidak mau dipanggil 'bapak'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Didi(k) Ada Apa Denganmu?
Horror[Pemenang Wattys2020 - Horror] Nyawa seorang pemuda desa sedang terancam. Kehilangan kedua orang tuanya membuktikan kebenarannya. Bermula dari mitos sebuah keris peninggalan sosok paling perkasa tempo dulu, yang memicu aksi saling membunuh oleh para...