20 - Sebuah Jawaban

254 71 7
                                    

"Mama...."

Wanita yang Inka selamatkan dari tragedi menegangkan tadi adalah Mirna. Satu sisi, Inka merasa senang karena Mirna menunjukkan perbedaan sikap seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Disisi lain, Inka juga bingung dan bertanya-tanya, apa yang membuat Mirna sekacau ini?

Mirna terisak di dekapan hangat anak tirinya. Inka masih diam sembari menerka-nerka apa penyebab semua ini. Setelah dirasa tenang, Inka mengurai pelukan mereka lalu menatap Mirna yang masih mengeluarkan air mata.

"Mama kenapa?" tanya Inka dengan hati-hati. Inka berharap reaksi Mirna tidak sesuai pemikirannya, yaitu langsung membentak Inka.

"Maafin mama sayang," kata Mirna parau.

Inka terkejut bukan main, apakah ini sebuah mimpi? Ia berusaha menahan air mata bahagianya karena Mirna memanggilnya dengan lembut. Apalagi ditambah dengan kata 'sayang' yang pastinya belum pernah dilontarkan sebelumnya.

Inka kembali memeluk Mirna. "Ma..  mama kenapa sampai nangis gini? Gimana kado dari Inka? Kemaren pulang dari acaranya bang Kenzo, udah Inka taruh di kamar mama. Mama suka?" Inka berusaha mengalihkan pembicaraan agar Mirna bisa sedikit lebih tenang.

Jujur, hati Inka merasa tersayat melihat kondisi ibu tirinya sekarang ini. Baju yang sedikit berantakan, riasan natural yang terlihat luntur akibat tangis Mirna, pandangan mata yang sayu dan menyiratkan rasa lelah serta kecewa. Apa yang sebenarnya terjadi.

"Iya mama suka, nanti mama pakai ya," kata Mirna sembari tersenyum tipis disertai dengan air mata yang masih terbendung di pelupuk matanya.

Inka menuntun Mirna untuk duduk di trotoar. Karena posisi mereka sekarang masih dalam keadaan tergeletak di pinggir jalan.

"Sekarang mama cerita, kenapa mama bisa sampe nangis kayak gini?"

"Sebentar, tolong ambilin obat mama di tas sayang," pinta Mirna lirih sembari menunjuk tasnya yang masih tergeletak di jalanan.

Inka segera mengambil tas tersebut dan mengobrak-abrik isinya. Dan ia menemukan sebuah plastik obat yang berisi obat tablet yang berbentuk lonjong. Inka mengernyit, ia bukan bocah sekolah dasar lagi yang tidak tahu jika itu adalah obat penenang.

Inka segera memberikan obat itu, lalu mengambil air yang ada di tas Mirna. Setelah meminum obat itu, Mirna terlihat sedikit lebih tenang.

"Sejak kapan ma?" Inka merapikan rambut Mirna yang sedikit berantakan. Mirna tersenyum lalu mencium pipi kanan Inka. Inka menghayati kecupan itu, berharap akan dapat merasakannya kembali.

"Satu bulan setelah mama menikah dengan papamu." Inka mengernyit heran. Apakah Mirna mengalami depresi, tapi karena apa? Bukankah mereka terlihat biasa-biasa saja?

"Mama akan ceritakan semuanya. Tapi janji jangan memusuhi papamu setelah ini. Janji?" Mirna menyodorkan jari kelingkingnya. Ahh beginikah rasanya kasih sayang dan kelembutan seorang ibu?

Awalnya Inka sedikit ragu, ia takut jika mengetahui kenyataan pahit yang sebenarnya. Tapi ia segera mengangguk, lalu mengaitkan jari kelingkingnya.

"Tapi mama juga harus janji gak boleh nangis lagi."

"Kalo itu gak janji," ucapnya sambil tersenyum tipis.

"Ayo ma mulai. Inka bakalan dengerin semuanya."

Mirna mengangguk. Sebelum mulai bercerita, ia menarik nafas panjang beberapa kali. Sepertinya masalah ini benar-benar serius.

"Satu bulan setelah mama menikah dengan papa, dia selingkuh."

Deg

Inka tak bisa membendung keterkejutannya. Pasokan udara seakan habis untuk Inka hirup. Kenyataan menyesakkan apa ini. Baru saja tadi jantungnya berdetak cepat akibat tragedi menegangkan Mirna, sekarang dengan kabar buruk Genta.

CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang