3. Hukuman di Aula

76 4 0
                                    

Pagi yang cerah, tapi tidak secerah nasib Qinta.

"Sial!" dengus Qinta.

Hari ini, ia bangun kesiangan. Ia hanya memakan setengah potong roti isi selai strawberry. Saat hendak memesan ojek online kesekolah, handphonenya mati akibat ia lupa mengisi ulang baterai. Ia harus menunggu 10 menitan sampai handphonenya bisa menyala, barulah ia memesan ojek online. Itu pun memerlukan waktu yang lama karena server aplikasi tersebut sibuk.

Ia telat 20 menit dari bel masuk. Gerbang sudah terkunci. Ia pun harus berdiri menunggu belas kasihan dari guru BK yang akan mengecek pagar. Sayangnya, Pak Daus, guru BK yang biasa memakai kopiah itu belum tampak batang hidungnya ketika Qinta sampai didepan gerbang.

"Hufft.. Lama banget, sih. Mana nih, Pak Dausnya?" keluh Qinta kepada satpam didalam gerbang.

"Sabar, neng. Lagian, telat, sih," balas satpam yang bernama Pak Wahyudi itu.

"Saya anak baru, loh, pak. Ini gak dapet belas kasihan?" tanya Qinta memelas.

"Ye, minta aja sama Pak Daus nanti," balas satpam itu lagi.

Qinta, gadis bernama lengkap Aluna Zaqinta Ardhintama itu baru saja pindah sekolah ke SMA Kejora kelas 11 ini. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan di New York karena mengikuti pekerjaan orangtuanya.

Ayah Qinta memiliki perusahaan di Indonesia yang induknya berdiri di New York. Tahun lalu, ayah Qinta mengurus keperluan perusahaannya di New York. Kini, ia dan keluarganya telah kembali ke tanah air. Ibu Qinta bekerja dibagian perfilman sekaligus penulis.

Karena orangtuanya sering berpindah-pindah kota, bekerja kesana-kemari, sepulangnya dari New York, Qinta memutuskan untuk menetap di Jakarta. Sebagai anak tunggal, ia diberikan rumah sendiri. Rumah tingkat dua dengan pagar besi tinggi. Sebenarnya, di Jakarta ada saudara-saudara Qinta. Tapi, Qinta tidak mau merepotkan siapa-siapa. Ia juga kurang dekat dengan keluarga besarnya karena sering berpindah-pindah. Lagipula ia sudah cukup dewasa dan berani tinggal dirumah sendiri.

Meski dari keluarga kaya, Qinta bukan anak yang pemanja. Ia sangat mengerti keadaan kedua orangtuanya yang sibuk. Namun, komunikasi diantara ayah-ibu-anak itu tetap berjalan lancar. Qinta adalah gadis pemberani dan bijak. Oya, ia juga bukan tipe yang berfoya-foya walaupun ia memiliki sekarung uang beserta kartu ATM yang nominalnya terbilang cukup besar.

10 menit berlalu, Qinta berjongkok didepan gerbang. Satpam yang berada didalam gerbang tertawa sekaligus mengasihaninya.

Tiba-tiba, Zaky datang dengan motornya. Ia terlambat, memang sudah menjadi kebiasaan. Sebenarnya, ia bisa saja masuk lewat jalan rahasia yang biasa digunakannya. Tapi entah kenapa ia sedang malas. Ia merasa lebih baik menyerahkan diri saja dan masuk lewat gerbang depan.

"Buka, dong," ujar Zaky kepada Pak Wahyudi.

"Wah, bos. Entar saya dimarahin Pak Daus," balas Pak Wahyudi dengan tatapan kebingungan. Ia bingung antara menuruti Pak Daus atau Zaky yang sedang bermuka dingin.

"Yaudah, lo telpon gue kalo Daus udah mau kesini. Gue mau ke warung," ujar Zaky. Ia berjalan memutari sekolah untuk nongkrong di warung.

"Eh, pak, bagi nomer juga, deh. Saya laper. Mau ke warung juga."
Qinta ikut-ikutan. Perutnya keroncongan akibat baru memakan setengah roti isi sebelum berangkat. Daripada ia lumutan menunggu Pak Daus, apa salahnya mengikuti cowo tadi ke warung yang disebut-sebut itu?

Zaky menoleh ketika Qinta meminta nomer Pak Wahyudi. Lalu, ia pergi ke warung belakang sekolah.

Setelah bertukar nomer telpon dengan Pak Wahyudi, Qinta menyusuri jalan kearah warung belakang sekolah. Mengintili Zaky yang sudah berada jauh didepan.

RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang