32. Rapuh

47 3 0
                                    

Rizal bercerita dengan muka menahan amarah. Amarah yang selama ini selalu berkeliling ditubuh serta otaknya. Amarah atas segala kekesalannya dengan Zuanita.

"Jadi kesepakatan yang dimaksud mama sama papa itu biar Zaky sama Misha gak tau apa-apa?" tanya Zaky setelah Rizal selesai menceritakan kisah masa lalu yang kelam sekaligus alasan ia bertindak kasar pada Zuanita.

"Misha tau," ucap gadis itu dari atas tangga. Semua disitu terkejut. Dengan mata berkaca-kaca, Misha berbicara, "maafin kesalahan mama, pa. Maaf  ternyata selama ini Misha bukan anak papa." Misha kembali ke kamarnya.

Gadis itu tadi sedang mencoba tidur dikamar. Ia gagal pergi ke alam mimpi karena suara adu mulut papa dan mamanya di lantai satu. Tak lama, adu mulut itu berhenti. Misha pun mengintip apa yang terjadi. Dan ia mendengar semuanya.

"Ya, ibumu yang selalu kamu bela itu yang bersalah. Bagaimana? Bagaimana rasanya setelah tau cerita itu?" tanya Rizal dengan gaya menantang.

Zaky dengan muka merah padamnya yang sejak tadi sedikit ia tundukan, kini beralih menatap mata papanya, berlanjut menatap mata mamanya dengan sorot tajam tapi juga sendu.

"Ma, apa cerita tadi bener?" tanya Zaky pelan pada Zuanita yang sedang tertunduk. Zuanita sudah terisak sejak Rizal mulai bercerita.

Tidak ada jawaban, hanya tubuh Zuanita yang bergetar karena menangis.

Muka Zaky semakin merah membara, "aku kecewa," ucapnya.

Tanpa sepatah kata yang terucap, tanpa pamit, ia pergi dari ruangan berhawa dingin itu. Tak bisa dipungkiri ia sangat terkejut mendengar penuturan papanya. Papanya yang selama ini ia benci ternyata memiliki kisah pahit. Pantas saja papanya selalu memarahi mamanya sekecil apapun kesalahan. Ia juga kecewa. Kecewa akan mamanya yang berbuat tanpa berfikir dimasa lalu. Ia kecewa karena mamanya tidak pernah bercerita kejadian itu padahal selama ini Zaky-lah yang selalu melindungi mamanya dan membelanya. Kali ini ia tidak bisa berpikir jernih dan tak akan membela mamanya.

Zaky pergi kekamarnya. Membanting pintunya dan mengunci diri.

"Keparat!"

"Bajingan!"

"Gue benci!"

Segala kata kasar serta ratusan pukulan ia keluarkan dimalam itu. Ia menghancurkan segala barang disekitarnya karena sudah termakan emosi. Rasa kecewa pada mamanya serta rasa bersalah pada papanya membuatnya seperti ini. Tangannya tergores berkali-kali karena menghantam meja belajar, juga lebam karena menghantam dinding kamar. Terakhir, ia meninju cermin dikamarnya hingga tangannya mengeluarkan cucuran darah. Ia lelah. Ia segera mengantongi handphone dan kunci motornya.

Selepas Zaky dan Misha mengunci diri dikamar, mama dan papanya kembali adu mulut. Kini diiringi tangisan mamanya yang tak kuat melihat kedua anaknya kecewa.

"Liat apa yang kamu perbuat mas!" bentak Zuanita.

"Seharusnya kamu yang sadar! Kamu yang salah disini!" bentak Rizal balik.

Zaky keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu. Ia tak ingin berada dirumah ini untuk saat ini.

Zaky melewati ruang keluarga.

"Mau kemana kamu?!" tanya Rizal.

"Apa tidak cukup mendengar penjelasan tadi, hah? Masih mau membela ibumu?!"

Zaky tak menjawab dan memilih mempercepat langkah keluar rumah. Ia melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia berdoa semoga kekasihnya mau membukakan pintu untuknya. Hanya gadis itu yang bisa menjadi sandarannya.

Tak butuh waktu lama untuk sampai dikediaman Qinta. Sekarang sudah pukul 12 malam dan ia yakin pacarnya sudah tidur. Gerbang rumah Qinta memang tidak dikunci. Ia pun masuk. Salah satu tangannya terus menempel ditelinga. Ia sedang menelepon kekasihnya. Lima panggilan tak diangkat. Ia mencoba mengetuk pintu rumahnya. Sayangnya Bi Sari sudah tidur, sama seperti Qinta. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia pun mengirimkan pesan kepada Qinta.

RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang