18

198 63 64
                                    

Jangan tanya keburukan orang lain, jika kau sendiri belum menjadi contoh yang lebih baik.



***



Airra mengerang tertahan. Ia akan lebih memilih nonton kartun walau harganya jutaan rupiah bersama Axel. Atau menonton tingkah gila Axel dan kakaknya yang selalu tak bisa ia pahami. Daripada harus melihat wajah orang itu secara gratis.

"Baru pulang? Dari mana aja kalian?"

"Niru bapaknya kali, suka lupa rumah," jawab Airra asal. Ia melipat tangan dengan angkuh. Moodnya hilang seketika. Bahkan pria yang barusan bertanya tidak tau jam pulang sekolah anak-anaknya. —Yang kenyataannya memang jam segini.

Adrian tak melarang. Malah berniat meniru keberanian adiknya. Adrian sangat suka Airra yang begini. Daripada harus menangisi kelas tidak berguna itu. Tatapannya berubah tajam. Senyum miring ia perlihatkan jelas.

"Ngapain kesini?"  Adrian berkata lantang. Atau, menantang?

Tak ada jawaban dari pria itu. Tak ada lagi suara bariton yang terkesan mengintimidasi.

"Yan, lo ngapain sih buang buang tenaga buat nanya? Gaguna!" jawab sekaligus tanya Airra. Berusaha mengompori suasana, sekaligus melampiaskan amarah. Hingga setelahnya melangkah cepat. Masuk.

"Papa mau pisah sama mama kalian."

Airra berhenti. Ucapan to the point itu sanggup membuatnya berbalik seketika. Menjadikan manusia yang sedang duduk di ruang tamu itu sebagai tontonan yang patut ditertawakan.

"Bagus. Aku sama Airra sudah nunggu bapak ngucapin itu dari dulu! Sayangnya, mama kelewat sabar!"

"Jaga mulut kamu, Rian!" Pria yang membawa nama Affanda pada Airra dan Adrian itu berdiri. Kemarahannya pecah ketika mendengar lima belas kata yang Adrian ucapkan. Apalagi ketika ia menyadari, Adrian sudah tidak memanggilnya dengan sebutan 'papa'."

"Bang Rian mungkin emang gak bisa jaga mulut, pak. Tapi setidaknya, Bang Rian nggak pernah nyakitin orang-orang yang sayang sama dia!" timpal Airra sarkas.

"Bukan malah bertingkah seenak jidat. Seolah semua orang butuh dia!" imbuhnya.

"Diam kamu, Airra! Anak kecil tau apa? Huh? Kamu butuh saya sebagai papa!"

"Apa? Nggak salah denger aku, pak? Butuh itu dalam hal apa, ya? Kalo boleh tau? Uang? Maaf, selama ini kami hidup dari uang mama. Kasih sayang? Mana bisa orang kayak bapak ngasih itu. Apa yang bisa bapak tawarin sampe merasa kami butuh?" Adrian berkata sinis. Tak mau menunggu lebih lama untuk mendengar jawaban Airra.

Inilah yang selalu Axel sukai dari mereka. Axel selalu bisa melihat jika Airra dan Orion selalu kompak. Saling membela, juga saling mendukung.

"Pergi aja! Apapun status bapak, nggak akan ada pengaruhnya di hidup kami. Jadi akan lebih baik kalo kita nggak ada hubungan sama sekali!" usir Airra. Mendahului pria tersebut yang terlihat akan bersuara lagi.

"Mana Keyra?"

"Nggak ada. Mama pasti muntah kalo liat bapak ada disini," balasnya lagi. Senyum remeh mengiringi ucapan gadis berambut panjang itu.

"Mendingan sekarang bapak keluar, urus surat ke pengadilan agama secepatnya, dan jangan pernah ganggu hidup kita lagi!"

Diam tak bergeming. Yang diajak bicara hanya menatap marah. Pikirannya terlalu penuh. Mau marah? Sudah ia lakukan. Tapi kedua anaknya malah melawan. Mau bicara lagi? Airra dan Adrian selalu bisa menjawab. Mau minta maaf? Ah, tak terpikirkan sama sekali. Otak dan hatinya sudah raib mungkin.

Line of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang