Salahkah jika aku mengharapkan sesuatu yang sudah bukan menjadi milikku? Atau aku yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa hal tersebut memang tidak pernah menjadi milikku?
***
"Mau lo nangis darah sekalipun itu nama gabakal pindah sendiri ke IPA-1, Ra!"
"Apa gue se-bego itu sampe harus masuk kelas IPA-7?"
"Enggak lah! Yang nulis absen kelas ngantuk kali," jawab Adrian asal. Awalnya hanya mencoba bergurau, namun yang ada Airra malah semakin menangis.
"Semua orang pasti kecewa kan?" Tanya Airra dengan senyum miris. "Kapan gue bisa berguna jadi orang? Kenapa lo bisa dengan gampangnya masuk ke kelas itu, sedangkan gue yang udah berusaha mati-matian buat menangin lomba-lomba dan olimpiade malah ada di kelas buangan? Kenapa? Padahal prestasi gue jauh lebih banyak daripada lo, Yan!" Suara gadis itu naik tanpa disadari.
Adrian seketika bungkam. Sakit? Kesal? Tidak. Adrian sama sekali tidak merasa tersakiti dengan kalimat sarkas adik kesayangannya. Yah! Pemuda itu mengakuinya. Memang benar, prestasi dan Olimpiade yang dimenangkan Airra jauh lebih banyak daripada Adrian. Sebenarnya jika dilihat dari kualitas otak, Adrian jauh lebih baik daripada Airra. Tapi apa daya seorang pemalas? Ia harus menerima kenyataan bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Namun tidak dengan Airra. Namanya yang entah bagaimana bisa ada di absen kelas IPA-7 membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap kalimat itu.
Lengang sejenak, menyisakan suara tangisan satu oknum yang masih sibuk meratapi nasib.
'Siapa juga yang akan menyangka gadis secerdas Airra akan masuk di kelas buangan?'
"Ra, lagian kalo adek gue bisa di IPA-7, gue berani jamin kalo di IPA-1 banyak yang nggak pantes ada di sana. Banyak yang nggak pantes disebut siswa kelas Einstein," Adrian menghela nafas. "Mau gimanapun, gue tetep percaya kalo di kelas itu nggak ada yang lebih baik dari-"
"Gue? Itu kan yang mau lo omongin?"
Belum sempat Adrian menyelesaikan kalimatnya, Airra sudah menyela dengan nada yang tidak kalah sarkas dari sebelumnya. Walau sesenggukan masih mendominasi.
"Mau mereka pantes apa enggak, gue nggak peduli! Dampaknya tetep sama! Gue di kelas buangan! Semua orang tau kalo IPA-7 itu kelas buangan, Yan! Lo juga ngakui itu 'kan? Eh? Mau mereka pinter apa enggak, nyatanya mereka ada disana! Mereka dianggap pinter dan gue bakal diem dikelas yang bahkan gurunya aja jarang mau masuk. Mau taruh dimana muka gue?"
Cowok blasteran Cina Indo itu kembali bungkam. Sekali lagi adiknya benar. Semua sudah terlanjur. Dan pandangan orang tentang IPA-7 —sebagai kelas rendahan— tidak akan berubah begitu saja hanya karena Airra ada disana.
Karena kehabisan kata-kata, Adrian hanya bisa memeluk Airra dan mengelus puncak kepalanya. Mengutuk siapapun yang berani meletakkan nama Airra di absen kelas IPA-7. Sambil dalam hati bersumpah, mereka yang berani memandang Airra rendah setelah ini, ia akan membuatnya menyesal.
Dengan cara yang berkelas tentunya.
***06.05
"Eh dek, udah jam berapa ini? Mandi sana!"
Pukul 6 lebih 5 menit, tapi seorang Lucynda Airra Affanda masih diam tak bergeming di kasurnya. Menatap langit" dengan pandangan kosong. Tanpa perlu ditanyapun, Adrian tau jelas apa yang membuat adiknya seperti itu.
"Woi, ayo! Gue anter sampe ke kelas lo,"
Airra akhirnya menoleh ke arah kakaknya yang entah sejak kapan sudah duduk di kasur dan memandangnya lamat-lamat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Life
Novela JuvenilSiapa sangka gadis secerdas Airra akan masuk kelas buangan? Gadis yang membenci kata 'cinta' itu kini harus terperangkap dalam kehidupan yang terlalu banyak drama menurutnya. Sampai kapan drama ini berlangsung?Aku tidak pernah berharap dikenal siapa...