Ketika nanti saatnya tiba, kau akan sadar. Betapa setiap detik sangatlah berharga.***
"Kan lo gapernah pake ginian, makanya gue yang pakein. Biar lo ngga kegatelan jadi cewek. Oh iya, for your information, ini bedak buat penyakit gatel gatel. Semoga sembuh, ya? Dan satu lagi, semoga lo ngga keberatan kalo ada kakak kelas mau bantuin lo,"
Dua kakak kelas yang tadi menghadangnya melenggang pergi. Menyisakan Airra yang kini menjadi pusat perhatian. Dengan serbuk putih yang terasa dingin di kulitnya.
***
Airra berlari ke kamar mandi terdekat. Dengan cepat, ia menepuk nepuk baju hingga sepatu. Mencoba membersihkan bedak yang menggangu penampilannya. Pun dengan rambut. Memiliki rambut panjang memang sangat menyusahkan di saat-saat seperti ini.
Selesai dengan pakaian dan rambutnya, Airra beralih pada wajah. Dengan cekatan, gadis bermata coklat gelap itu membasuh muka. Membiarkan segarnya air mengalir di setiap inci wajah manisnya.
Airra memandang pantulan dirinya sendiri di cermin. Memerhatikan setiap detail wajah yang sangat ia kenal sejak kecil.
Mata coklat gelap dengan alis dan bulu mata tidak terlalu tebal. Hidung juga tidak mancung. Pipi biasa saja. Tidak tirus, juga tidak cubby. Dagu yang akan terlihat sangat lancip ketika tersenyum. Lihat? Semua serba biasa saja. Rata rata. Airra sadar akan itu semua.
Airra tidak cantik. Airra juga tidak pintar. Dia bahkan ada di kelas buangan. Airra pun tidak ramah. Tidak feminim, dan keluarganya juga biasa saja -menurutnya.
"Terus kenapa nasib lo gini banget sih?" Ujarnya tepat setelah tersenyum pongah pada bayangan dirinya sendiri.
"Gue kasian sama lo, sumpah! Selama ini gue perhatiin, lo nggapernah ganggu orang perasaan?"
"Ada yang perlu gue bantu? Ah percuma. Lo mah kasta rendah! Lupa sama status? Sadar diri dong makanya!" Airra terus saja berbicara sendiri.
"Lo bego! Harusnya lo inget satu hal! Prinsip yang lo pegang dari dulu! Lo bukan Rusa hutan yang langsung lari kalo liat pemburu. Dan apa tadi? Lo diem aja?"
"Lucu, Ra!"
Ucapnya mengakhiri percakapan dengan diri sendiri.Setelah puas memaki cermin, Airra membasuh kembali wajahnya. Membiarkan beberapa anak rambutnya ikut basah. Sayangnya, cara tersebut sama sekali tak mengurangi kekesalan dalam hati Airra. Pun tak mampu menghalangi otaknya yang jenuh untuk terus berpikir. Sehingga dengan berat hati, ia harus kembali ke kelas dan mengikuti dua jam pelajaran lagi.
Langkah Airra melambat ketika dilihatnya seorang pria tengah bersandar di dinding lorong. Dengan satu kaki ditekuk, kedua tangan yang terlipat di depan, dan kepala mendongak.
Sadar bahwa tak ada yang perlu dipedulikan, gadis blasteran tersebut kembali mempercepat langkah. Melihatnya, Airra jadi ingat kakak kelas tadi. Ia baru sadar satu hal. Bahwasanya salah satu dari dua perempuan gila yang tadi memberinya obat adalah anggota tim Olimpiade.
Ah, lagi lagi Airra mencoba tak peduli. Namun yang ada pikirannya semakin berat.
"Lucynda,"
Yang dipanggil berhenti. Melirik sekilas ke arah sumber suara.
Orion.
Tepatnya Orion yang sedang menyodorkan tisu padanya. Ah, hari ini banyak yang memberikannya "sesuatu".
Dan satu hal lagi. Jika sejak saat itu, Airra benci angka tujuh dan kolam. Kini, Airra pun benci warna putih!
Tanpa merespon apapun, perempuan itu hanya mengangkat alisnya. "Mau lo apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Life
Fiksi RemajaSiapa sangka gadis secerdas Airra akan masuk kelas buangan? Gadis yang membenci kata 'cinta' itu kini harus terperangkap dalam kehidupan yang terlalu banyak drama menurutnya. Sampai kapan drama ini berlangsung?Aku tidak pernah berharap dikenal siapa...