31

277 55 153
                                    


Apa masih pantas kita bersama setelah sekian lama tak saling menyapa?

***

"Gue putus."

"Udah nggak waras ya lo?"

"Gue sama Orion tau, ini cuma bakal nyakitin. Gue tau dari awal dia nggak pernah sukak sama gue. Hubungan ini cuma mainan lo aja, kan? Dan yang terpenting, gue nggak mau, Fe. Jadi alat balas dendam lo."

Disinilah Feilin dan Liana sekarang. Pukul enam pagi di lab multimedia yang sangat jarang digunakan. Sekolah ini sekolah favorit. Hampir semua siswa siswinya punya laptop. Dan jadilah lab ini tempat yang lebih sepi daripada taman belakang sekolah. Terlebih, ruangan ini tertutup dengan pencahayaan tidak terlalu terang. Sangat bagus untuk membicarakan privasi.

Pukul enam pagi? Memang. Hari ini siswa siswi angjatan kelas 10 akan melaksanakan study tour dan out bound sampai besok malam. Menyebabkan kelas sebelas dan dua belas juga harus datang pagi tanpa kepentingan yang jelas.

Angkatan termuda itu sudah berkumpul di lapangan sejak beberapa menit lalu untuk mendapatkan arahan. Tentu saja dengan pendamping mereka masing masing. Hal itulah yang membuat Liana mengajak Feilin bicara di lab multimedia selagi keadaannya sepi. Dan tentunya, Adrian dan Orion tidak akan dengan gampangnya muncul tanpa diundang seperti biasa.

Pembicaraan ini penting bagi Liana. Dan gadis itu yakin, ini juga akan menjadi penting bagi Feilin.

"Lo tuh bener bener gatau terimakasih ya?"

Feilin melayangkan tatapan sengit. Dirinya bahkan belum kepikiran langkah apa selanjutnya, dan Liana main putus seenaknya sendiri.

"Fe. Apa yang lo lakuin sekarang itu gak guna! Dia bahkan nggak ngasih respon apa apa. Gue nggak mau Orion sakit jugak. Cukup gue."

"Sejak kapan lo niru dia jadi drama queen?"

"Bukannya selama ini yang drama queen itu elo ya?"

"Kok ngelunjak sih?"

Liana menatap datar. Bosan dengan semua permainan ini. Bukankah tidak ada ujungnya? Jadi Liana memilih berhenti di tengah jalan.

Kemarin, sekarang, ataupun nanti. Semua tetap akan sama saja. Bagi Liana, drama ini hanya ajang balas dendam seseorang di depannya. Dan dia lelah hanya menjadi aktris pendukung yang perannya sangatlah buruk. Memalukan.

"Jawab anjir! Lo nggak tau berterimakasih namanya. Lo belain dia sekarang?"

"Iya. Gue belain dia. Puas? Gue nggak mau terlibat lebih jauh, Fe. Lo marah pun gue nggak peduli. Dendam lo nggak ada urusannya sama gue ataupun Orion. Jangan libatin kita."

"Tau apa lo soal dendam?" Suara Feilin naik satu oktaf. Siswi yang dulu temannya ini sudah memancing emosi. Memurutnya, Liana hanya sok tau. Apa yang diceritakannya pada Liana hanya secuil dari permasalahan yang telah membengkak.

Semua orang hanya menghakiminya tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi. Membela Airra seolah gadis itu adalah yang paling suci seantero bumi.

Semua orang hanya bisa mengomentari hidupnya. Tanpa tau dengan jelas ada apa dibalik semua perbuatan tidak mengenakkan yang telah Feilin lakukan.

"Anak kepala sekolah kok tingkahnya gitu!"

"Gatel banget sih jadi cewek!"

"Mentang mentang anaknua kepsek!"

Ya. Feilin terbiasa dengan itu semua. Bukankah sudah jadi hal lumrah jika manusia hanya bisa mengomentari apa yang mereka ketahui. Berdasarkan "katanya" tanpa harus repot repot mengetahui "faktanya". Termasuk Liana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Line of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang