11. Piala Bergengsi

458 20 1
                                    

"Dokter bagaimana hasil nya? Apa cucu saya akan baik-baik saja?" Tanya nenek dengan raut wajah cemas, ditambah suasana di dalam ruang periksa sungguh menegangkan. Bian malah santai bahkan tak mau tau tentang hasilnya itu, dia sedikit menghiraukan. Toh nantinya mimpi itu lambat laun akan hilang? Begitu yang selalu ada dipikirannya.

Dokter menjulurkan tangannya memberi kertas yang di pegangnya kepada nenek, lalu ia meraihnya dengan perasaan ikhlasnya apapun yang terjadi pada cucunya tentang masalah psikologis akibat mimpinya itu. Kertas putih yang dilipat berisi hasil pemeriksaan, akhirnya dibuka oleh nenek lalu dia membacanya, dan.

"Precognitive Dream?" Ucap nenek setelah membaca hasil itu seraya menatap dokternya heran, memberi kesan agar dokter menjelaskannya lagi secara ringkas apa itu Precognitive Dream. Sontak Bian yang ada di samping nya pun ikut menoleh ke arah neneknya dan dokter dengan raut wajah melongo.

"Jadi begini, mimpi itu bisa dikatakan sebagai Precognitive Dream. Tapi tenang, ini bukan termasuk penyakit yang serius," jelas dokter dengan nada yang berwibawa.

"Lalu?" Saut Bian dengan penasaran.

"Itu adalah sebuah mimpi yang memberikan informasi kepada seseorang mengenai apa yang akan terjadi di masa depan," ucap dokter dengan penjelasan agak terpotong.

"Maksudnya dok?" Tanya nenek.

Ucap dokter menjelaskan lebih banyak lagi, "Precognitive Dream yang berarti penglihatan masa depan. Biasanya orang yang mengalami ini akan merasakan perasaan yang berbeda ketika mendapatkan mimpi itu dibanding dengan mimpi biasa. Mereka juga akan sangat terganggu, hal ini juga mengatakan bahwa ingatan akan mimpi itu biasanya melekat terus di dalam pikiran mereka selama bertahun tahun. Apa kamu merasakan hal yang sama Bian?" Tanya dokter setelah menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit itu.

"I-iya dokter, saya selalu terganggu dengan mimpi yang sudah bertahun tahun saya alami itu. Apa mimpi itu bisa hilang dok?" Bian bertanya dengan keadaan keringat dingin di sekujur tubuhnya.

"Saya belum tahu pasti tentang hal itu. Namun saran saya tidak usah terlalu dipikirkan, jika terus menerus dipikirkan akan menyebabkan depresi dan tekanan psikologis. Itu akan membahayakan kesehatan kamu juga."

Bian dan neneknya yang mengetahui hal itu langsung bertatapan muka dengan raut wajah diam membisu.

🍰🍰🍰

Matahari mulai terbenam, Lea tak menghiraukan kejadian tadi siang tentang Sarah mencoret coret mobilnya, walaupun ia sempat menangis tadi. Lea dan kakaknya, Dhirga sedang asik bermain Playstation di ruang keluarga. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun mereka tetap bermain tak kenal waktu. Ibunya terlihat sedang membersihkan dua cangkir kopi yang tergeletak kotor di meja ruang keluarga. Tak tahan melihat anak-anaknya asik dengan game itu, ibu yang tengah sibuk membersihkan cangkir sembari berupaya menyindir Lea dengan kalimatnya.

"Yang katanya mau kuliah di Amrik, tapi malam-malam malah main Playstation bukannya belajar," kekeh pelan ibunya seraya mengambil kedua cangkir itu untuk dibawa ke wastafel dapurnya yang tak jauh dari mereka berdua.

"Mamah!! Itukan masih lama, nanti Lea belajar kok," Lea yang tengah sibuk dengan Playstation ditangannya menyaut kalimat ibunya dari kejauhan, ia sedikit mengeraskan nada bicaranya agar terdengar oleh ibunya.

"Belajar ya belajar, jangan pacaran mulu," Dhirga menggoda adiknya dengan perkataannya. Ia terkekeh pelan saat Lea menoleh kearahnya seraya memperlihatkan muka kesalnya.

Terdengar ada panggilan masuk yang berasal dari handphone Dhirga di dalam saku celana pendeknya. Lalu ia menggeletakkan asal playstation yang tadinya berada di genggaman tangannya, karena hendak mengangkat panggilan yang entah dari siapa. Dhirga tampak serius menanggapi panggilan itu dan memilih untuk meninggalkan game nya sejenak. Lea menghela napas dan memutar bola matanya, melihat kakaknya yang pergi begitu saja padahal game belum selesai.

Azalea [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang