Cus dinikmati ceritanya. Buat yang masih sekolah, yang rajin belajarnya ya. 🥰🥰
🌼🌼🌼🌼🌼
💐💐💐💐💐Sasha menutup novel yang tengah dibaca. Jalan cerita sama sekali tidak menarik baginya. Dia tak bisa memejamkan mata. Terbayang senyum Brama sebelum mobil pergi. Juga rasa yang hadir saat Brama memeluk tubuhnya dengan hangat. Sasha menggeleng keras-keras.
"Duh, kenapa malah kepikiran sama Kak Brama sih?" tanya Sasha pelan sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Harusnya, ini adalah malam pertama. Malam yang biasanya sangat diidam-idamkan oleh pengantin baru. Ikatan halal itu indah, bahkan tiap senyum dan sentuhan yang mendebarkan adalah pahala. Menggoda suami dan menawarinya untuk bercinta, itu juga pahala.
"Ups!" Sasha menutup bibir, lalu memukul kepala pelan. "Bodohnya ... bodohnya .... Ingat, Sha. Kamu masih kecil. Jangan mesum. Jangan mesum!"
Dia masih remaja, banyak yang bisa dia lakukan. Jadi, mengapa harus terikat dengan pernikahan? Seharusnya gadis itu bersyukur bahwa Brama mau mengikuti kemauannya yang labil dan terkesan dibuat-buat. Kini, dia merasakan jantung berlomba memompa dengan cepat saat mengingat bahwa dirinya telah menikah dengan Brama.
"Apa semudah itu aku jatuh cinta?" Sasha berbisik pelan.
Dia menggeleng lagi, tak percaya dengan hatinya. Bisa jadi dia jatuh cinta. Namun, bagaimana dengan Brama? Bahkan lelaki itu masih suka merayu dan menggoda para wanita di luar sana. Sasha tak ingin sakit hati. Biarlah rasa itu ada tanpa perlu diucapkan. Toh, semua akan berakhir. Pernikahan itu akan selesai jika Brama menghendaki. Bukankah lelaki sombong itu memang tak pernah mengharapkan pernikahan ini?
Dipandanginya kaus berwarna biru laut yang menggantung di belakang pintu kamar. Kaus bergambar burung yang sedang terbang itu masih dia simpan. Tak ada keinganan sama sekali untuk mengembalikan kaus itu pada tuannya. Tuan? Bahkan Sasha sudah menjadi istri dari pemilik kaus itu. Bukankah milik Brama adalah miliknya juga? Jadi, kaus itu adalah miliknya. Benar, kan?
Sasha tersenyum pelan, akhirnya dia beranjak untuk mengambil kaus itu. Ditimang perlahan, dicium aroma Brama yang melekat di sana. Aroma khas yang dia dapatkan dari kamar lelaki itu. Wangi yang kali ini membuatnya dimabuk kepayang, wangi yang dia rindukan.
"Tak apa, kali ini hanya kausnya yang menemani," ucap Sasha pelan sambil memeluk kaus itu. Dibawanya kaus itu ke atas kasur. "Besok-besok pasti ditemani sama orangnya langsung, kan? Kan kami udah halal."
Tanpa berpikir lagi, Sasha langsung mengambil guling yang biasanya menemani tidurnya, memakaikan kaus berwarna biru itu ke guling. Wajahnya tersenyum saat melihat guling itu.
"Kalau gini kan bisa terasa banget melukin Kak Brama," ucap Sasha sambil tersenyum tak jelas.
Tak berapa lama, Sasha sudah memejamkan mata dan terlelap dengan kaus yang dipasang pada guling kesayangan. Menganggap guling itu adalah sosok Brama yang menemani, hangat.
{{{
Brama memandang ke luar jendela di ruang santai lantai dua. Langit menunjukkan luasnya dengan menaburkan kerlip bintang yang tak bisa dihitung. Malam ini tak ada bulan, tapi langit tetap terlihat cerah.
Dia sering melihat langit saat bersama perempuan itu, mereka menaiki sepeda motor ke taman kota hanya untuk melihat langit. Brama selalu menemani perempuan yang suka melihat bintang dan langit malam. Malah sebenarnya dia tak suka malam yang gelap.
"Yuk liat bintang, yuk," ucap perempuan itu tiap kali Brama mengunjungi rumahnya. Seperti tak ada bosannya mengajak keluar hanya untuk melihat langit, melihat bagaimana bintang berkelip dengan indah.
Perempuan itu tak pernah mau diajak mengendarai mobil, selalu beralasan bahwa dirinya lebih suka jika angin malam mempermainkan rambutnya. Lebih suka dipeluk angin, katanya.
"Angin itu selalu ada di mana pun aku berada. Kalau rindu, tinggal mengibaskan tangan, maka angin sudah melingkupi tubuhku. Jika lelah dan sedih, tinggal berlari, angin seolah tahu bagaimana perasaanku," jelas perempuan itu sambil memandang mata emang Brama.
"Kenapa sih kamu lebih suka melihat langit malam daripada langit pagi? Padahal malam itu terlihat menyedihkan karena gelapnya," tanya Brama pada perempuan itu.
Mata Brama memandang wajah perempuan yang tengah menengadah, anak rambut perempuan itu dimainkan oleh angin, menambah sensasi tersendiri di hati Brama saat melihatnya.
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir perempuan itu. Hanya sebuah tawa, lalu kecupan singkat di pipi Brama sebagai jawaban. Tak ada jawaban yang bisa membuat rasa penasarannya terobati.
Brama lebih suka langit berwarna biru cerah, seperti langit di pagi atau siang hari. Langit yang membuatnya ingin terbang bebas ke awan. Terbang bersama para burung yang seolah menyongsong matahari. Namun, jika ada perempuan itu di sampingnya, malam hari pun akan terasa seperti ada matahari. Perempuan itulah matahari dalam hidup Brama.
"Ngelamun aja, Bram?" Viona mendekat, menyapa sang putra.
"Ah, Mama. Brama gak ngelamun kok. Langit sedang cerah aja. Seneng banget lihatnya." Brama membela diri.
"Oh ya? Kok Mama gak lihat seperti itu, ya? Gak ada yang kamu sembunyikan dari Mama, kan?" Viona memandang Brama lekat-lekat, mencari jawaban atas tiap pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati.
Brama mengangguk tegas. Memberi kepastian bahwa dia memang baik-baik saja.
"Kamu gak sedang ingat sama dia, kan?"
"Dia? Mama jangan bahas dia lagi. Hanya perempuan pengecut yang pergi begitu saja meninggalkan kekasihnya tanpa kabar sama sekali," ucap Brama hambar sambil memalingkan muka.
"Kamu sekarang sudah menikah. Sudah seharusnya bisa lupain dia. Toh Sasha juga tak kalah cantik."
"Iya, Ma. Brama tahu kok."
"Baguslah. Kamu harus bisa belajar bertanggung jawab. Mama percaya sama kamu." Viona menepuk pundak sang putra, menguatkan.
Di keluarga Alex, pantang menyebut nama perempuan itu. Perempuan yang pergi begitu saja meninggalkan Brama saat sedang dimabuk cinta. Perempuan yang membuat Brama hampir gila karena mencari sosok itu. Sosok yang entah ada di mana saat ini.
Brama bukannya tak ada yang mau, banyak wanita yang mendambakan cinta lelaki itu. Wanita mana yang tak terpesona dengan ketampanan dan kemapanan Brama? Apalagi dengan berbagai talenta yang dia miliki. Tubuh atletis, jago main basket, suka bermain musik, dan pastinya romantis.
Sayangnya, dia tak bisa melupakan perempuan itu. Berbagai wanita ditolak. Sampai akhirnya dia mengalah saat sang papa menjodohkannya dengan anak sahabatnya yang masih sekolah, Sasha.
Brama masih tetap melihat langit saat mamanya pergi ke kamar. Dia tersenyum kecut. Mamanya tak pernah bisa dibohongi. Perempuan yang berbeda kasta itu memang masih ada di hatinya, terpahat di sana dengan rapi. Bahkan senyum perempuan itu tak pernah hilang dari benaknya. Perempuan yang menemaninya selama tiga tahun di SMA. Cinta pertamanya.
"Sebenarnya kamu di mana?" ucap Brama sambil menyugar rambutnya dengan kasar.
Untung saja Sasha mengajukan persyaratan sebelum pernikahan terjadi. Jadi, Brama tak akan dipusingkan oleh sosok gadis SMA yang kini telah menjadi istrinya. Tak mungkin dia katakan pada Sasha kalau di hatinya masih ada perempuan itu. Perempuan yang entah kapan akan kembali pada hidupnya.
"Apa salahku sehingga kamu pergi begitu saja? Bahkan setelah empat tahun, kamu tetap tak kembali. Apa kamu tak tahu bahwa aku di sini merindukanmu? Tetap menanti kabar dan menanyakan pada bulan, bagaimana keadaanmu," bisik Brama.
💐💐💐💐💐
🌼🌼🌼🌼🌼Saya nulisnya juga sambil senyum-senyum sendiri lho. Sampai jumpa di part selanjutnya yaaa. Jangan lupa masukin cerita ini di rak bukumu, kalau ada update, biar langsung tahu.
Salam sayang buat pembaca.
Anisa AE. 🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Rahasia (Sudah Terbit) Repost Sampai Tamat
RomanceSasha Atmaja, seorang anak yang bersekolah dengan beasiswa. Bukan gadis populer karena lebih suka berada di perpustakaan, daripada berkumpul dengan teman-temannya. Kehidupannya yang tenang dan damai berubah 180° saat hadir guru muda, Bramasta. Guru...