Alma dan Bima sudah menyiapkan semua alat tempur mereka. Dapur yang semula rapih kini seperti sebuah tempat penampungan barang-barang. Barang-barang yang tadinya tersimpan rapih di lemari sudah keluar dari tempatnya dan barang belanjaan Bima sudah berhamburan di meja.
Alma menggelengkan kepalanya, kepalanya sudah merasa pusing duluan ketika melihat dapur yang sudah terlihat seperti tempat penampungan sampah.
"Ayok kita mulai." Bima berucap semangat, tangannya digosokkan satu dengan lainnya. Tanda siap untuk memasak dan memegang semua bahan yang tersedia.
Tangannya mengambil mentega, coklat dan minyak sayur lalu ia melelehkan kedua bahan itu bersamaan di sebuah mangkuk yang ada di dalam teplon yang diisi air mendidih di atas kompor, ntah apalah itu. Alma tak tahu namanya.
Setelah selesai ia mengocok tiga butir telur dan gula halus. Alma hanya melihat sampai telur itu terlihat sedikit berubah warna menjadi kuning pucat. Lalu Bima memasukkan coklat yang sudah ia lelehkan ke dalam kocokan telur.
"Tepung." Bima menengadahkan tangannya, mengisyaratkan meminta tepung. Ia lalu memasukkan tepung kedalam adonan. Hanya dengan mengira-ngira Bima memasukkan tepung itu, tanpa menimbang lebih dulu.
"Tepung udah, terus-" Bima membaca resep yang ia lihat di google.
"Coklat bubuk," kata Bima lagi, meminta pada Alma.
Alma melihat belanjaan Bima, ia bingung coklat mana yang harus ia ambil karena begitu banyak jenis dan macam coklat bubuk yang tersedia. "Yang mana?" tanya Alma.
Bima menoleh, ia juga bingung mana yang harus dipakai. "Yang mahal aja kali. Biar enak sama bagus."
Alma memberikan yang ditunjuk Bima. Ia kembali mengamati cowok amatiran yang sekarang sedang bersikap layaknya chef handal.
"Kopi." Alma memberikan itu, kali ini ia memilih asal.
Bima mengaduk dan mencampur adonan menjadi satu. Setelah terlihat agak kental cowok itu memasukkan adonan ke dalam cetakan yang sudah ia olesi mentega. Ia lalu memasukan itu kedalam open.
"Akhirnya." Bima merentangkan tangannya. Melemaskan otot-otot yang mungkin terasa kaku.
Alma menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bima yang melihat itu menjadi heran. "Kenapa Lo?" tanya Bima.
"Nggak yakin."
"Hah?"
"Lupain deh, gue mau istirahat."
Alma melepaskan celemek nya lalu berjalan menuju sofa. Bima menyusulnya.
"Gue yang bikin, Lo yang capek."
°~°~°~°
Empat puluh menit berlalu, Bima sudah mengeluarkan kuenya. Bima memandang kosong kue itu.
Realita tak seindah ekspetasi!
Alma melihat ke arah lain, juga menggigit bibir untuk menahan tawanya.
"Oke, bentuk emang nggak bagus, tapi rasa pasti enak." Bima menyemangati dirinya sendiri. Cowok itu lalu memotong kue itu sedikit di pinggirnya.
Pisau terlihat seperti memotong daging sapi bagian terkeras. Oh ayolah, Alma tak akan Sudi untuk memakan kue itu. Rasanya pasti seimbang dengan bentuknya. Buruk.
"Kok-gi-ni-ya?" tanya Bima terbata. Alma mengedikkan bahu.
Dengan ragu Bima memakan kue itu. Terlihat pada kunyahan pertama Bima sudah berhenti. Tak lama ia memuntahkan kue itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti