Alina sudah bisa pulang, walaupun sebelumnya dokter mengatakan bahwa Alina seharusnya dirawat lebih lama lagi di rumah sakit. Namun Alina tetap kukuh untuk pulang, karena alasan besok dikelas nya ada ulangan matematika. Clara tak dapat menolak karena tak ingin menyakiti putrinya lebih jauh lagi.
"Makasih ya," ujar Clara tulus, ketika Clara dan Rafly sudah berdiri di luar. Rafly memang sudah banyak membantu keluarganya, sudah selayaknya Clara mengucapkan terimakasih.
Rafly mengangguk, ia berpamitan dan langsung pulang. Selepas kepergian Rafly, Clara memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya.
Ia tahu apa yang dilakukannya salah. Dirinya bahkan tidak mau untuk melakukan itu, namun kebutuhan ekonomi keluarga membuat dirinya harus melakukan semua itu. Hal yang membuat Alina marah padanya. Ia tak ingin dibenci lagi oleh putrinya.
Lagi? Tentu, Clara sebenarnya masih memiliki hati untuk bisa menyayangi Alma. Namun, ah sudahlah. Membicarakan luka lama hanya akan membuat dirinya membenci gadis itu.
Clara membuka tasnya, ia melihat begitu banyak uang di dalam dompetnya. Ia ingat jika dirinya belum membayar uang sekolah Alina. Pihak sekolah sudah menelpon dirinya dan mengatakan ia harus segera membayar semuanya.
Clara bingung, kenapa tiga bulan terakhir ini tak ada orang yang membayar uang sekolah Alina seperti dua tahun sebelumnya? Ya, Clara tak pernah tau siapa yang membayar uang itu, bahkan saat Clara bertanya pihak sekolah mengatakan bahwa itu adalah privasi dari pembayar. Tak masuk akal sebenarnya.
Clara sempat berpikir Alma melakukan hal bodoh untuk membayar uang sekolah nya, seperti...tidak, jangan sampai gadis itu melakukan tindakan bodoh. Karena Clara selama ini tidak pernah membayar biaya sekolah Alma.
Clara berharap hari esok ia akan bisa bertemu dengan orang yang akan membayar biaya sekolah Alina dan mungkin juga Alma.
°~°~°~°
Sinar mentari menerobos masuk ke dalam jendela kamar Alma. Matahari begitu bersinar terang, seperti mewakili gadis yang tengah menatap awan tersebut.
Alma tersenyum sambil menengadahkan kepalanya ke atas, membiarkan sinar mentari mengenai langsung wajahnya.
Sekarang pukul setengah tujuh pagi, tapi cewek itu sepertinya tak memiliki niat untuk pergi ke sekolah. Dari atas, ia bisa melihat pengendara berlalu lalang, ada yang memakai seragam sekolah, baju kantoran, baju kerja, dan masih banyak lagi orang di bawah sana yang sedang bertempur dengan roda-roda kendaraan dengan berusaha menyalip agar sampai dengan cepat.
Alma mendengus sebal, telinganya mendengar teriakan Nadia yang menyuruhnya untuk bergegas agar tidak terlambat. Sebenarnya Alma tak peduli jika terlambat, tapi ia ingat memiliki banyak hal penting untuk dilakukan.
Alma segera mandi dengan cepat, memoles bedak tipis lalu turun ke bawah.
Di sekolah, Nadia lebih dulu masuk ke dalam kelas karena dirinya mengatakan belum mengerjakan pr. Sedangkan Alma memasuki kantor kepala sekolah.
Alma mengetuk pintu lalu menongolkan dirinya di balik pintu sehingga terlihat oleh pria itu. "Permisi pak."
"Iya, silahkan duduk." Instruksi kepala sekolah sambil menyuruh Alma duduk.
Alma duduk dengan sopan, lalu ia tersenyum ramah. "Saya mau bayar uang sekolah saya dan Alina." Alma langsung mengutarakan maksud tujuannya.
"Seperti biasa?" tanya kepala sekolah yang biasanya Alma akan meminta dirinya menyembunyikan siapa yang membayar uang sekolah mereka.
Alma mengangguk."Iya, pak."
"Ini uangnya." Alma menyerahkan puluhan lembar uang seratus ribuan pada kepala sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti