Bima terkekeh pelan melihat reaksi Alma yang begitu menggemaskan. Dia tidak benar-benar menginginkan hal itu, karena dia tahu bahwa dia tidak akan mendapatkannya walaupun dia meminta dan walaupun Alma ingin memberikannya."Bim!" Alma geram sendiri melihat Bima yang justru tertawa seperti itu. Jika ada saat dimana Alma tak mengenal Bima adalah saat Bima menjadi sangat manis pada dirinya. Lebih baik dia berhadapan dengan Bima yang memuji Alina itu lebih mudah dan lebih baik untuk perasaannya agar tau diri. Jika begini perasaannya akan semakin egois untuk memiliki pria itu sendiri.
"Aku becanda kali, nggak mungkin aku mau kamu pergi." Dibalik wajahnya tertawa ada sedih yang mendera apalagi saat kata pergi itu hanya bisa di ucapkan dalam hatinya saja.
Bima hanya membuat keadaan semakin salah. Dia membuat Alma berpikir bahwa dia tak pernah mencintai Alma. Padahal apa susahnya mengatakan perasaan yang sesungguhnya. Bukankah lebih baik menyesal karena pernah melakukan daripada tidak sama sekali?
"Oh." Bukan bukan itu yang Alma ingin dengar. Jika sekali saja Bima memintanya menetap dia pasti akan tinggal, namun kenyataannya terbalik dengan keinginannya.
"Oh doang?"
"Iyalah. Emangnya aku mau jawab apaan?"
"Iya nggak usah jawab apapun. Nggak usah tanya apapun. Cukup di samping aku , hari ini aja."
"Bim, sebenarnya gue-aku nggak ngerti kenapa sama kamu?"
"Udah ya, aku juga nggak tau kenapa. Tapi Alma aku benar-benar ingin menggenggam tangan ini menikmati senja bersamamu."
Alma lagi-lagi diam menuruti semua kemauan Bima. Tangannya membalas genggaman Bima, sangat nyaman. Tak lupa kepalanya bersandar pada bahu Bima.
Hari itu tak banyak yang mereka bicarakan, hanya menatap senja dengan perasaan masing-masing. Tanpa pernah saling menyatakan.
Padahal mengungkapkan mungkin bisa merubah segalanya atau jika memang tak akan ada yang berubah setidaknya tak akan ada penyesalan nantinya karena tak menyatakan.
Hari itu setelah sekian lama mengenal, baru itu Alma menggenggam lama tangan Bima. Tangan yang mungkin tak akan bisa lagi ia genggam.
...
Alma memasuki kamarnya, setelah melewati hari yang aneh sekaligus membahagiakan untuknya karena akhirnya dia merasa memiliki Bima, meski hanya sesaat.
"Van?" Alma memanggil Revan yang tengah menatap ke luar di balkon kamarnya.
"Eh, gimana? Seneng?" Pertanyaan paling menyakitkan adalah menanyakan perasaan orang yang kalian cintai untuk orang lain.
Alma mengangguk. Dia tak ingin membicarakan semuanya, dia sudah cukup membuat Revan tersakiti.
"Nggak balik ke hotel?" Tanya Alma mengalihkan pembicaraan.
Revan mendekati Alma yang tengah melepaskan aksesorisnya. "Nunggu Lo balik dulu. Gue harus pastiin Lo pulang nggak nangis."
Benarkan, Revan terlalu baik untuk cewek tidak tahu diri seperti dirinya. "Kenapa lo bisa baik gini sih Van?"
"Entahlah, ya udah berhubung Lo baik-baik aja. Gue balik dulu ya. Besok mau berangkat pagi atau siang dari sini?"
"Kita berangkat jam berapa emang?"
"Sore jam 5."
"Gue kabari besok bisa?" Revan mengangguk, lalu pamit pergi. Dia tak ingin bertanya lebih, dia tak ingin menyakiti dirinya lagi.
Jika memang berjodoh pasti akan kembali padanya lagi. Entah besok, lusa, Minggu depan atau kapanpun itu. Tapi jika tidak, bahkan sekalipun orang yang ia cintai tiada dia tidak akan pernah bisa memiliki gadis itu.
....
Hay aku kembali.
Agak gaje atau sangat gaje?Ada clue untuk part selanjutnya, bisa nebak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti