Rafly berjalan mondar-mandir di depan pintu UGD. Ia merasa tak tenang, hatinya gelisah, ditambah lagi, ibunya Alina memarahi dirinya karena tak bisa menjaga putri semata wayangnya itu.
"Tenang, Raf, Lo bikin kita nambah pusing." tegur Hani.
Rafly mengacak-acak rambutnya frustasi. "Gimana gue bisa tenang?" tanya Rafly dengan suara yang naik satu oktaf, membuat Hani terdiam sesaat. Hani menunduk kebawah, ia tersenyum nanar. "Gue emang nggak ada gunanya." ujar Hani lirih, tanpa ingin siapapun mendengarnya. Namun Suaranya masih dapat di dengar semua orang.
Hani berdiri, ia lalu berpamitan pada Andin, Hans, dan Andi, kecuali Bima. Ia bahkan tak menoleh pada Bima, seolah Bima tak ada di sana.
Andi mendekati Rafly, ia lalu menepuk pundak Cowok itu. "Nggak cuma Lo yang khawatir, kita semua juga. Marah-marah nggak bakal buat keadaan baik-baik aja."
Setelah itu keadaan di depan UGD kembali hening, Andi langsung duduk setelah mengucapkan itu. Dan yang lainnya juga tak berniat untuk bicara lagi. Dan, Rafly, cowok itu sudah duduk tersungkur di depan pintu.
Rafly membenamkan wajahnya di antara tumpukan tangannya. Ia menunduk seolah berharap ketika kepalanya menegak yang ia lihat pertama kali adalah Alina.
Namun Dewi keberuntungan belum berpihak pada Rafly. Bukannya Alina, justru ibunya yang sudah berdiri di hadapan Rafly.
"Bangun kamu!" Rafly berdiri setelah mendengar perintah ibunya Alina.
"Saya minta kamu jagain anak saya, tapi kamu malah buat dia berujung di UGD. Tadi kamu hampir buat dia kecelakaan, sekarang keracunan? Nggak becus jadi cowok!"
Clara mendorong Rafly, menggeser tubuh cowok itu agar dirinya bisa melihat ke ruang UGD. Padahal ruangan itu sangat tertutup. Namun mata Clara tetap saja menatap pintu itu. Berharap ia bisa melihat apa yang terjadi dengan putrinya.
"Tante, Tante duduk dulu ya, Alina juga nggak akan suka kalo Tante kayak gini." Andin mengelus punggung Clara, Clara menurut ia akhirnya duduk ditempat Hans sebelumnya. Kini semua cowok berdiri di sebelah kanan Clara dengan Andin yang duduk di sebelah kirinya.
"Kenapa? Kenapa bisa? Alma makan apa emangnya?" tanya Clara di tengah Isak tangisnya.
"Itu karena Alma, dia yang ngeracunin Alina," celetuk Hans yang langsung mendapat tatapan tajam dari Andin dan Andi.
Clara menatap Hans, tatapannya seolah bertanya 'benarkah?'. Hans cengengesan. " Mungkin Tante, soalnya Bima bawa kue dan katanya dia bikin itu sama Alma."
Dada Clara semakin naik turun dengan cepat. Emosinya seperti terbakar, amarahnya tak terbendung lagi. Ia mengobrak-abrik tasnya mencari ponsel. Kenapa disaat darurat barang penting selalu menghilang seperti ini?
Setelah cukup lama mencari akhirnya ia menemukan ponselnya yang terselip. Dengan segera Clara menghubungi Alma.
"Nomor yang anda tuju sedang-"
Clara langsung mematikan sambungan ketika yang terdengar adalah suara operator wanita.
Ia mencoba lagi, dan yang terdengar kembali suara operator itu. Clara terus menghubungi, hingga dia hapal apa yang diucapkan operator itu.
Ketika hendak menghubungi Alma lagi, suara pintu UGD terbuka, semua orang langsung mendekat dan menatap dokter itu lebih harap.
"Saudari Alina baik-baik saja, kami sudah melakukan penanganan pertama, dan memberikan obat untuk menghilangkan racunnya. Jika ada yang ingin menjenguk, boleh masuk, tapi jangan sampai mengganggu pasien." Dokter itu menjelaskan sebelum ditanya, terkadang seorang dokter lebih mengerti dengan pertanyaan isyarat yang ditunjukkan keluarga pasien. Terlebih saat mereka baru keluar dari ruang UGD atau operasi, beberapa pasang mata menatap mereka seperti orang yang kelaparan dan ingin menikam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti