Bima menarik Alma kedalam dekapannya. "Gue tau apa yang Lo rasain, gue denger semua."
Alma yang mendengar lantas mendongak. Bima menatap gadis itu sendu dan mengangguk.
"Gue udah siapin bahu buat Lo nangis."
Alma yang mendengar itu semua menjadi semakin terisak. Ia membiarkan dirinya menangis dalam dekapan Bima, rasanya begitu hangat walau hujan tengah membasahi keduanya.
Bima membiarkan Alma menangis sampai dia tenang. Setelah suara tangis Alma mulai mereda, Bima memegang pundaknya lalu menatap Alma lekat. "Ikut gue."
Bima membawa Alma menepi, lalu mereka masuk kedalam mobil Bima. Bima mengecilkan suhu AC, lalu ia mengambil jaketnya dari jok belakang. Bima memakaikan jaketnya pada Alma. Gadis itu masih menangis dalam diamnya dengan tatapan yang kosong.
"Nangis aja sepuas Lo, habis ini Lo nggak boleh nangis lagi." Alma tak merespon ia bahkan tak mendengar apa yang diucapkan Bima.
Bima menghela nafas lalu menjalankan mobilnya. Tak lama mobil Bima berhenti, membuat Alma menatap Bima yang turun tanpa payung walau di luar masih hujan.
Cowok itu kembali dengan segelas teh hangat. "Diminum dulu, biar anget."
Alma menggeleng, namun Bima tetap kekeuh dan mengambil tangan Alma untuk memegang gelas itu. Karena mencoba menolak Bima akhirnya memegang tangan Alma sekaligus gelas yang ia pegang. Dengan urutan gelas, tangan Bima, tangan Alma lalu terakhir tangan Bima lagi.
Bima dengan perlahan mengarahkan Alma untuk minum. Sedikit air sudah Alma minum, ia lalu menarik tangannya dan menghapus air matanya yang sudah mengering.
"Makasih," ujar Alma, Bima menjawab dengan berdehem.
"Gue tau pasti sakit mengetahui semua ini. Tau kalo nyokap Lo bukan orang yang selama ini ngerawat Lo, saat Lo tau kalo Alina bukan saudara kandung Lo. Gue tau pasti sulit nerima kenyataan-" Alma menyela omongan Bima.
"Gue tau semua itu, tapi gue nggak tau kalo kronologi ceritanya kayak gitu."
"Yang gue pikirin dulu adalah nyokap nya Alina itu pelakor. Makanya gue benci banget sama dia, hiks...hiks...gue salah..."
Bima mengerti, sangat mengerti apa yang gadis itu rasakan. Pasti sangat menyakitkan.
"Semuanya udah terjadi, yang bisa Lo lakuin sekarang adalah perbaiki kedepannya."
°~°~°~°
"Ayah?" Panggil seorang gadis kecil dengan rambut lurus yang diikat menjadi satu pada ayahnya yang duduk di kursi roda.
"Kenapa sayang?"
"Kenapa Mama Clara sama Alina nggak jenguk ayah?" tanya gadis itu polos.
"Jangan panggil dia seperti itu, nak. Panggil dia Mama, hanya Mama," ujar pria itu seraya mengelus puncak kepala Alma dengan lembut.
Gadis yang berjongkok dihadapan ayahnya itu menggeleng pelan. "Nggak nya, dia kayak ibu tiri, jahat."
"Alma!" Tanpa sadar suara pria itu naik satu oktaf, membuat Alma menutup matanya karena takut. Takut jika nantinya sebuah tangan akan menampar pipinya lagi.
"Maafin ayah, ayah beneran nggak punya niat untuk bentak kamu sayang." Ihsan, ayah Alma, hendak menjulurkan tangannya untuk memeluk Alma namun gadis itu lebih dulu bangkit dan mundur satu langkah.
"Alma bukan anak umur delapan tahun yang bisa ayah bohongi lagi, Alma udah besar. Jadi ayah bilang sama Alma kalo dia emang bukan ibu kandung Alma, kan?"
Ayahnya menghela nafas lalu menarik tangan Alma untuk mendekat padanya. Ia membiarkan Alma duduk di pangkuannya. "Dengerin ayah baik-baik, setelah apapun yang akan kamu dengar nanti, jangan pernah tunjukkan kamu itu lemah. Nggak boleh ada yang ngerendahin anak ayah." Alma mengangguk. Ihsan lalu tersenyum dan melanjutkan kalimatnya.
"Kamu juga harus lebih mementingkan diri kamu sendiri, walau begitu kamu harus tetap baik pada semua orang. Jangan pernah dengan sengaja nyakitin orang lain. Paham maksud ayah?"
Alma mengangguk lagi. "Ayah mau Alma jadi orang baik yang tetap peduli dengan diri Alma sendiri, ayah nggak mau lihat Alma dibodohi karena terlalu baik kayak di film-film itu kan?" Ihsan mengangguk. "Pinternya..." Ihsan mengacak-acak rambut Alma gemas.
"Clara emang bukan ibu kandung kamu, dia-" ucapan Ihsan terpaksa terpotong karena seorang anak kecil memanggil namanya.
"Kak Alma!"
Alma menoleh dengan malas. Ia merasa sedikit tidak nyaman karena cerita ayahnya tergantung karena suara anak itu. Namun sebisa mungkin Alma tetap tersenyum. "Kenapa?" tanyanya masih begitu sangat manis.
"Main ke taman yuk." Ajakan yang sangat aneh, mereka sudah ditaman, lalu taman mana lagi yang mau dia datangi?
Dan bodohnya gadis itu menjawab iya karena tidak tega melihat kesedihan anak itu. "Ayok."
Alma dan gadis itu pergi meninggalkan pak Ihsan dan ibu gadis itu berdua saja.
"Terimakasih pak," ujar ibu itu.
"Sama-sama Bu Sarah, saya yang harusnya berterima kasih karena telah membuat anak saya tersenyum kembali."
Wanita yang dipanggil Sarah itu tersenyum seraya menggeleng. "Anak anda memang sangat luar biasa, dia tetap mau bermain bersama Gina di usianya itu."
Pak Ihsan tertawa pelan mendengarnya. Usianya itu? Memang berapa usia Alma? Tiga belas tahun, dan itu masih anak-anak. "Bu Sarah ini bisa saja, dia itu juga masih anak-anak, wajarlah mainnya sama Gina," ujar pak Ihsan lalu disambung dengan tawanya.
"Tapi anak laki-laki saya tidak mau bermain dengan Gina, saya pikir anak-anak seusia mereka emang udah nggak mau main sama anak kecil," kata Bu Sarah dengan suara yang terdengar sedih namun wajahnya berusaha menyembunyikan itu dengan senyuman.
"Bu Sarah tenang aja, suatu saat anak ibu pasti bakal deket sama anak ibu lagi."
"Makasih pak, saya juga mau minta maaf karena anak saya bapak jadi harus dirawat di rumah sakit."
Pak Ihsan menggeleng pelan. "Ibu nggak perlu minta maaf, sebenarnya saya juga sakit Bu, tapi saya nggak bisa bilang sama anak saya. Saya nggak tau kapan saya akan dipanggil, saya bisa minta tolong, Bu?"
"Iya pak."
"Jaga anak saya setelah saya pergi, saya titip Alma Bu."
°~°~°~°
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Fiksi Remaja"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti