"Menurut lo, Rafly beneran bisa ngelakuin itu? Atau emang lampu nya rusak?" Bima bertanya di sela makannya. Setelah dari Gramedia Bima mengajak Alma untuk makan lebih dulu.
Alma tak menjawab, ia sendiri juga bingung bagaimana lampu bisa mati, dan hanya lampu toilet tempat Alina. Mungkinkah ada yang tau Alina takut pada gelap? Mungkinkah Rafly?
"Woy!" Bima menyadarkan Alma dari lamunannya. "Kenapa?" tanya Alma seperti orang linglung.
"Wah, dari tadi gue berasa ngomong sama tembok," gerutunya.
"Gue mau balik." Alma mengambil tasnya dan pergi begitu saja.
Bima melongo, enak saja dirinya ditinggalkan sendirian lagi. Bima lalu meletakkan uang seratus ribuan dua lembar di meja, tak lupa ia mengambil tasnya dan menyusul Alma.
"Tunggu," panggil Bima, namun Alma tetap melangkahkan kakinya.
"Gue Anter." Bima akhirnya memegang tangan Alma dan menariknya menuju mobil.
Selama perjalanan Bima dan Alma saling diam.
"Gue mau catatan tentang apa aja yang disukai sama Alina. Gimana? Ini permintaan yang ketiga?" kata Bima, memecah keheningan. Alma hanya berdehem.
"Kan kata Lo gue nggak boleh ngelakuin sesuatu yang bisa buat celaka orang lain. Menurut gue ngelakuin sesuatu yang Alina sukain nggak akan ngelukain siapapun deh."
"Oke nggak?" tanya Bima sekali lagi karena Alma terus saja diam.
"Ya," jawab Alma lemas. Bima tak terlalu menghiraukan ia hanya tersenyum senang.
Tak lama mobil Bima berhenti di depan rumah Alma. Alma langsung turun tanpa mengucapkan terimakasih.
Bima hanya mengedikkan bahu acuh, namun saat hendak kembali menjalankan mobil ia melihat ponsel Alma tertinggal. Bima akhirnya keluar untuk mengembalikan ponsel gadis itu.
"KAMU INI, MEMANG NGGAK TAU DIRI. KEMANA KAMU SEMALAM? HAH? NEMENIN OM-OM? IYA?"
Baru saja turun Bima sudah disuguhkan dengan teriakan ibunya Alma. Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung harus melakukan apa. Terbesit rasa kasihan melihat Alma yang diperlakukan seperti itu. Gadis itu tetap diam, namun pandangannya tak sekalipun menunduk.
"Sudah salah masih berani menatap saya seperti itu!" Clara terus saja membentak, ia semakin muak melihat Alma yang bukannya minta maaf justru menatapnya dengan kepala tegak seperti itu. Tatapan kosong.
"Kamu itu kakak! tapi kamu seharusnya mencontoh adik kamu! Dia selalu ijin sama saya, dia selalu pergi belajar bukan kamu yang keluyuran nggak jelas! Hari ini saja dia belajar sampai sore! Sedangkan kamu? Hah?"
Lagi-lagi membandingkan, memangnya Alma bodoh? Tidak dia selalu menjadi juara satu dalam setiap olimpiade nya. Kenapa harus Alma yang mencontoh Alina? Karena menurut Clara Alina selalu benar, tak pernah salah. Mungkin jika Alina melakukan kesalahan, Clara akan tetap menganggap nya benar.
Dan... Belajar sampai sore? Bukannya cewek itu sedang pergi dengan seorang laki-laki?
"Sudah... bicaranya?" tanya Alma pelan, akhirnya gadis itu mengeluarkan suaranya. Suaranya terdengar berat, mungkin jika kalian mendengar nya lebih seksama akan terdengar getir, suara nya seperti hampir menangis.
"Kurang ajar! Pergi kamu! Cepat masuk atau saya usir kamu dari sini!" perintah Clara, sebenarnya tanpa diperintah Alma akan pergi dari rumahnya, namun masih ada yang belum selesai, ia belum bisa pergi.
Alma melangkahkan kakinya masuk, hatinya semakin terluka. Kaca yang sudah hancur semakin hancur. Ia berharap dalam hati, akan ada seseorang yang bisa menyatukan retakan kaca itu kembali. Walaupun ia tahu bahwa hak itu terlihat mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Teen Fiction"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti