"Tante tenang aja, Alma nggak akan pernah ninggalin Tante.""Kita bakal jalanin rencana kita, pindah ke Korea sesuai keinginan Gina, lalu hidup bahagia sebagai keluarga kecil disana."
Sarah tersenyum hangat lalu menarik Alma dalam pelukannya. "Saya nggak tau harus gimana lagi sama kamu. Kamu terlalu baik buat saya, padahal saya yang udah buat ayah kamu kecelakaan."
Alma menggeleng, baginya semua itu hanya takdir dan dia tak akan menyalahkan siapapun lagi. "Itu semua takdir Tante, jangan pernah salahkan diri Tante lagi."
"Gina tadi seneng banget, papahnya jenguk dia." Cerita Sarah bagaimana bahagianya Gina saat bertemu Hery. Laki-laki itu tak hanya membawa buah-buahan tapi juga banyak mainan dan makanan kesukaan Gina yang lainnya.
Gina bukan anak haram, Gina benar-benar anak Hery. Tapi amarah dan kebencian dalam diri Hery pada Sarah membuatnya salah paham saat waktu itu Sarah bertemu dengan teman lamanya.
"Tante juga udah bilang sama Gina kalo saya dan dia akan pergi liburan ke Korea. Sementara dia akan setuju, selanjutnya saya cuma tinggal pikirin caranya meyakinkan Gina untuk tinggal di Korea selamanya."
Alma menggenggam tangan Sarah. "Gina anak yang pengertian Tante, dia pasti bisa ngerti."
"Kamu disini aja, saya tau pasti berat untuk kamu ninggalin Indonesia." Pernyataan Sarah membuat Alma menggeleng. Dia ingin ikut pergi, melarikan diri, mungkin itu kata yang tepat.
"Tante, saya bakal ikut Tante, itu janji kita dua tahun lalu. Saya udah dapetin kafe saya lagi. Saya bakal urus semua sisa masalah saya. Kita pergi ke Korea sama-sama."
"Makasih sayang." Ujar Sarah. "Gimana sama pengobatan kamu?"
"Tante tenang aja, Alma bakal rutin check up mulai bulan depan, di London."
"Alma bakal ikut Tante ke Korea dulu, lalu Alma akan pergi ke London untuk berobat. Gimana kalo Gina juga ikut Alma?"
"Gimana kalo kita tinggal di London aja untuk selamanya? Alma punya temen di sana, dia bakal bantu kita."
Sarah mengangguk, dia sekarang pasrah. Hidupnya tinggal untuk anak-anak nya. "Tante terserah kamu aja, Gina juga pasti seneng kalo deket kamu."
"Oke, semua udah fix, Tante tinggal siap-siap aja."
....
"Kamu yakin bakal pergi sendiri?" Tanya Andre tak yakin.
Alma mengangguk penuh keyakinan. "Alma nggak sendiri bang, ada Tante Sarah, ada Gina, dan ada Revan."
"Revan?"
"Iya, dia bakal balik ke indo setelah ujian Nasional Alma."
"Berarti tepat saat hari pernikahan nyokap tiri Lo?" Alma mengangguk membenarkan.
Niatnya memanggil Revan adalah untuk menguatkan hatinya. Alma juga sudah mengatakan pada Revan tentang semua masalahnya. Tentang perasaan nya yang mendadak kacau dan lainnya.
Revan berhak tau, dia tidak ingin Revan mengetahui semuanya dari orang lain.
"Masalah kamu di indo udah beneran selesai?"
Alma memikirkan kembali, masalahnya belum benar-benar selesai sepertinya.
"Bang, aku bakal urus masalah aku. Aku titip rumah lama sama kafe senja ya, untuk waktu yang nggak ditentukan."
"Makasih untuk semuanya bang."
"Sama-sama."
Alma berdiri dari tempatnya. "Balik dulu kalo gitu bang."
"Ma," Andre menahan tangan Alma, menahan gadis itu sebentar sebelum mengatakan keinginannya.
"Abang boleh peluk kamu?" Tanya Andre ragu, Alma diam tak bergerak bahkan menjawab membuat Andre merasa dia pasti sudah sangat salah dan lancang.
Andre melepaskan tangan Alma, tersenyum tipis, miris. "Kalo nggak mau, nggak masa-"
Belum selesai melanjutkan kalimatnya, Alma sudah lebih dulu memeluk Andre. "Makasih bang, selama ini Lo udah baik sama gue."
Andre mengangguk. Dia senang hanya dengan bisa menjadi kakak bagi seorang Alma, mungkin sudah cukup sampai disini. Mereka tidak ditakdirkan bersama.
Mereka berpelukan cukup lama, bahkan jika bisa Andre tak ingin melepas gadis itu.
"Bahagia selalu sama pilihan Lo, gue akan selalu sayang sama Lo." Batin Andre, setelah Alma pergi.
...
TBC
Nggak punya kata-kata untuk disampaikan, hanya ingin bilang terimakasih sudah menunggu cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romansa Senja
Fiksi Remaja"Gue nutupin perasaan yang ada karena gue takut gue bakal ditolak."-Alma zevanya "Gue selama ini mencintai orang yang salah karena dia nggak pernah bicara soal perasaannya." -Bima Ragatta Published 15 Juli 2019 Story by Anggita Dwi Ristanti