(Selamat membaca 😊)Pov. Humaira/Ira.
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan itu! Kau bukanlah siapa-siapaku lagi, Anton." tukasku, memalingkan pandangan.
Hanya Anton, yang memanggilku dengan sebutan Huma. Dia juga yang menambahkan slogan Humairaku, yang artinya, Humaira milikku, milik Anton.
"Kenapa, Huma? Apa salahku?" tanya Anton, menatapku dengan dalam.
"Tanya pada dirimu sendiri!"
"Katakan padaku, aku salah apa? Empat tahun telah berlalu, kau tetap ada di hatiku, Humaira! Kau tetap Humairaku."
"Stop, please! Kita telah selesai semenjak kau menghilang dari pandanganku."
"Aku!? Bukankah kau sendiri yang pergi? Kau yang meninggalkanku! Empat tahun yang lalu ... ada seorang anak laki-laki, dengan hati bangga dan semangat yang menggebu, ia pergi ke kediaman wanita penyemangatnya, dengan membawa secarik surat keberhasilan tes nya di salah satu fakultas kedokteran.
Ia membayangkan, bahwa sebentar lagi mimpinya akan segera terwujud bersama sang kekasih. Menggapai cita-cita bersama. Tapi apa yang ia dapatkan? Hanya sebuah bangunan kosong bertuliskan rumah ini telah terjual, bersama semilir angin yang lirih. Ternyata ... wanita penyemangatnya telah pergi, meninggalkan sebuah perasaan dan mimpi yang nyata. Kau telah pergi ... tanpa memberi kabar padaku, Huma.""Mana mungkin! Aku telah mengirimkan pesan untukmu berkali-kali, sampai detik terakhir keberangkatanku, aku masih terus menunggu balasan pesan darimu, Anton."
"Tapi nyatanya pesan itu tak pernah ada, Huma!"
Aku diam, memandangi wajah polos Anton yang penuh dengan kebenaran.
'Sepertinya ... Ia sedang tak berbohong'
"Aku merindukanmu, Huma ...."
"Tidak, Anton. Kau tak boleh merindukanku. Keadaan sudah jauh berbeda dengan yang dulu. Kuburlah semua harapan yang telah kita impikan bersama. Aku tak akan pernah menjadi dokter sepertimu."
Terlihat, Anton menghela nafas panjang dan membuka kacamatanya.
"Bisakah kau memeriksaku, sekarang? Cepatlah! Agar aku bisa beristirahat segera," pintaku.
"Baiklah."
Anton mengeluarkan stetoskop dari balik blazer putih nya, kemudian memeriksaku, sementara sang suster mencatat apa yang Anton instruksikan."Pernafasan baik, detak jantung dan nadi baik, tensi darah juga sudah mulai membaik, kau harus banyak istirahat, jangan lupa makan buah dan sayur, agar tekanan darahmu tidak rendah," ujar Anton, memasukkan kembali stetoskop ke balik blazer putihnya.
"Ada lagi? Jika tidak ada, segeralah pergi, aku ingin istirahat."
"Sebentar, Huma. Aku ingin bertanya sesuatu."
"Percuma, Anton. Aku tak akan menjawabnya. Cepatlah, keluar. Aku ingin istirahat."
"Bagaimana bisa kau sampai di kota ini, Huma? Dan ... luka itu ... mengapa kau melakukannya? Apa yang telah terjadi?"
"Kau tak berhak mengetahui kehidupanku."
"Kumohon, jawablah pertanyaanku, Huma. Setelah itu, aku akan pergi."
"Tak ada yang harus kujawab."
"Aku akan menunggu di tempat ini, sampai kau menjawab pertanyaanku."
"Terserah!"
Kutarik selimut sampai menutupi bahuku, dan berbaring membelakangi Anton, yang masih berdiri di tepian ranjang.Kami hening beberapa saat. Namun tiba-tiba, seorang suster memasuki ruanganku sambil tergopoh-gopoh. Sepertinya ia sedikit berlari.
"Dokter, mohon maaf. Ada pasien gawat darurat kecelakaan. Kita harus segera mengambil tindakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
General Fictionaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....