"Hari Bahagia"

2.5K 248 39
                                    

Gemerlap bintang di malam hari menghiasi langit-langit Jakarta.
Desir ombak lautan di pantai Ancol, menjadi saksi keharmonisan sepasang kekasih yang sedang menikmati makan malam bersama, ditemani lilin-lilin kecil yang romantis, melengkapi suasana menjadi lebih sempurna.

"Ira, ada yang ingin kutanyakan padamu, mengenai masa depan kita." Bara menatap kedua netra indah nan cantik bak permaisuri yang sedang duduk di hadapannya.

"Tanya saja," ujar Humaira, sembari merapikan sedikit rambutnya yang terbang tertiup semilir angin.

"Kau tau, profesiku sebagai abdi negara sangatlah rumit. Terlebih aku ini bagian dari intelejen. Kau akan menghadapi hari penuh resiko dan tantangan bila hidup denganku. Apa kau siap?"

"Bisakah kau gambarkan seburuk apa?"

Bara menghela nafasnya dengan berat, "Satu. Kita akan sering LDR'an. Akan ada saatnya dimana aku harus tinggal beberapa lama di asrama, atau pergi di misi rahasia, dan pastinya tanpa kamu, tanpa keluarga kita."

"Okey ... itu satu? Dua?"

"Dua. Aku gak bisa selalu ada untukmu. Dengan terpisahnya jarak, otomatis aku gak akan bisa selalu ada untukmu. Bahkan, saat kau benar-benar sangat membutuhkanku sekalipun, belum tentu aku bisa selalu ada di sampingmu untuk membantumu. Nantinya, kamu akan dididik menjadi perempuan yang kuat dan mandiri."

"Apa aku yang sekarang belum cukup kuat dan mandiri untukmu?"

Bara tersenyum, "Seluruh isi dunia ini pun pasti mengetahuinya, bahwa kau adalah wanita hebat. Kau sangat kuat dan mandiri. Kau mampu bertahan hidup walau keadaan selalu tidak berpihak padamu. Untuk point ini, aku percaya kau pasti bisa." Bara membelai rambut Humaira dengan lembut.

"Selanjutnya, point ke tiga. Kamu harus siap jika dirotasi atau dimutasi. Misalnya, dari kota satu ke kota lain, atau bahkn ke pedalaman. Sesuai dengan lokasi yang telah ditetapkan oleh negara. Kamu harus siap beradaptasi dengan lingkungan dan budaya baru. Sisi positifnya, kamu akan mempunyai banyak pengalaman yang kelak akan kau ceritakan pada anak cucu kita."

Humaira tertawa kecil, mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Bara.

"Point empat. Akan banyak persyaratan dan rahasia. Menjadi istri prajurit tentu memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Kamu akan otomatis tergabung dalam organisasi yang mengikat. Terbukti, saat ini kita sedang sibuk mengurus berbagai dokumen untuk pernikahan, kan? Dari persetujuan orangtua, surat kesanggupan sebagai istri abdi negara yang bermaterai, dokumen N1, N2, N4, SKCK, ijazah dan masih banyak lagi. Hal tersebut diberlakukan mengingat pentingnya tugas sebagai abdi negara yang secara langsung harus ikut menjaga rahasia negara. Dan yang paling penting ...."
Bara memelankan suaranya seraya berbisik, "tidak ada yang boleh mengetahui jika aku seorang Intel."

"Siap, komandan!" Dengan spontan, Humaira merapatkan jemarinya ke pelipis mata.
Gerakannya disambut dengan tawa Bara yang tengah gemas, melihat tingkah lucu calon istrinya tersebut. Raut wajah bahagia terpancar dari keduanya.
Namun tiba-tiba ... raut wajah itu berubah seketika. Terlihat Bara sedikit menundukkan kepalanya, menyembunyikan rasa resah dan gelisah yang tiba-tiba datang menggelayuti hatinya.

"Ada apa?" tanya Humaira.

"Ada satu point terakhir yang kurasa ... sangat berat untuk kita hadapi."

"Apa itu? Katakan saja dengan penuh keyakinan, maka aku tidak akan pernah ragu."

"Kau harus ... siap-siap kutinggal ke medan perang, Ira."

Deg!

Kalimat itu bagaikan bom waktu yang siap meledak kapanpun saat Humaira telah mendengarnya.

HumairakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang