Semenjak Humaira dilamar oleh kekasihnya, Bara, tentu saja hari-harinya semakin penuh warna.
Ia selalu tersenyum ceria dan bersemangat menyambut hari demi hari.
Pekerjaannya pun semakin mudah ia rasakan.Krining-krining!
Humaira merogoh sakunya dan mengangkat telepon.
[Halo?]
[Assalamualaikum.] sapa Bara dari seberang telepon.
[Wa--Wa'alaikumsalam.] jawab Humaira, sedikit gugup. Tentu saja wajahnya merah merona karena kegirangan.
[Sudah istirahat?]
[Sebentar lagi.]
[Aku akan datang ke toko. Kita makan siang bersama, ya. Boleh, kan?]
[Hh? Bo--boleh. Datang saja.]
[Baiklah, sampai ketemu nanti. Assalamualaikum.]
[Wa'alaikumsalam.]
Ya, sebagai abdi negara yang selalu menjalankan misi serius, Bara sedikit sulit mengekspresikan perasaannya kepada wanita. Ia tidak terbiasa berbasa-basi, apalagi mengucapkan kalimat gombal seperti kebanyakan pria lakukan biasanya.
Apa yang ia ucapkan adalah apa yang ada dalam hatinya saat itu.Terlihat Oma Jeni datang menghampiri Humaira.
"Ada yang bisa Huma bantu, Oma?" tanya Humaira.
"Duduklah, oe ingin tanya sesuatu sama lu olang." Oma Jeni menarik kursi rotan sebelahnya, dan menyilakan Humaira untuk duduk.
"Ada apa, Oma? Apa ada hal yang penting?"
"Huma, lu satu-satunya olang yang paling tahu tentang Anton. Lu tahu apa yang tidak Oe tahu tentang Anton. Apa akhir-akhir ini ada sesuatu yang terjadi pada Anton?"
"Sesuatu? Sepertinya tidak ada, Oma. Kenapa Oma bertanya seperti itu? Apa ada hal buruk terjadi?"
"Tidak, tidak. Oe cuma heran lo, Anton ngambek karena pertunangannya dibatalkan sama si Lita."
"Apa, Oma!? Di--dibatalkan?"
"Ya. Kenapa lu olang kaget seperti itu, ha?"
"Kalo Huma boleh tahu, apa alasannya, Oma?"
"Lu tau sendiri Anton tidak ada rasa sama Leona. Dia cuma cintanya sama kamu loh, jadi ... si Lita berencana menjodohkan Anton sama lu olang saja, Huma."
"Hah!? Ya Tuhan, Oma ...."
"Kenapa, Huma?"
"Terus, sekarang Anton dimana?"
"Itu masalahnya, semalam dia minggat dari rumah dan balik ke apartemennya."
Humaira menarik nafasnya dalam-dalam.
"Oma, Huma memang sayang sama Anton. Tapi hanya sebatas sahabat saja. Sayang Huma sudah seperti sayang seorang adik pada kakaknya, kita tidak mungkin bisa menikah. Lagipula ... sekarang Anton sudah sadar, Oma. Dia mulai menerima Leon dan membalas cintanya."
"Tunggu dulu, apa yang barusan lu olang bilang itu benar?"
Humaira memberi anggukan kecil, pertanda apa yang ia ucapkan semuanya adalah benar.
"Bagaimana, bisa?"
"Hihihi. Kalau itu, sih, rahasia."
Omapun ikut tersenyum, "Terimakasih ya, Huma. Oe jadi paham apa maunya Anton sekarang. Bisakah lu olang bantu oe?"
"Bantu apa, Oma?"
"Sebentar lagi kita akan menyelenggarakan pesta besar. Lu paham, kan, maksud oe?" dengan raut wajah yang sangat gembira Oma Jeni terlihat bersemangat sekali.
"Tenang saja, Oma."
Beberapa saat kemuadian, Bara pun datang.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Wa'alaikumsalam."
"Em ... Oma. Perkenalkan, ini Bara. Calon suami Huma. Bara, ini Oma Jeni, Omanya Anton."
Dengan sigap Bara meraih lengan Oma Jeni dan bersalaman.
"Calon suami? Jadi---"
"Ya, Oma. Sebentar lagi kita akan segera menikah." ujar Bara, tersenyum.
"Menikah? Kapan?"
"Bara belum dapat tanggal cutinya, Oma. Nanti kalau sudah dekat, pasti Huma kabarin."
"Kalau begitu ... selamat ya, Huma. Oe ikut bahagia, akhirnya cucu oe mau menikah semua, lo." Oma Jeni melirik ke arlojinya, "oya, jam istirahat, ya? Silakan, silakan. Barangkali kalian mau menghabiskan waktu istirahat bersama. Oe mau ke belakang dulu."
"Terimakasih banyak, Oma." ujar Bara, seraya sedikit membungkukkan badannya.
Oma Jenipun pergi, kini hanya tinggal Bara dan Humaira, duduk bersama di kursi rotan tempat biasa Huma duduk beristirahat atau hanya sekedar mengobrol dan minum kopi bersama Anton.
"Aku sudah mendapatkan beberapa tanggal dari komandan. Nanti kau tinggal pilih saja mau yang mana."
"Benarkah?"
"Ya,"
"Syukurlah, tapi sebaiknya kamu bicarakan dengan Ibu saja. Beliau satu-satunya orang tua kita dan paling mengerti mengenai pesta ini. Masalah tanggal .... mau tanggal berapa pun aku siap."
Senyum keduanya merekah, sangat indah sekali.
Layaknya dua sejoli yang sedang dimabuk cinta, mereka saling curi-curi pandang."Oya, aku bawakan makanan untukmu." Bara menyodorkan bungkusan yang ia bawa pada Humaira."
"Apa, ini?"
"Dimsum, sepertinya kau akan menyukainya."
"Oya?"
Bara mengambil sumpit dan menyuapi sepotong dimsum pada Humaira.
"Let's try."
Humaira membuka mulutnya, dan menerima suapan Bara.
"Gimana?"
"Enak, kamu juga makan, dong."
"Ya, aku beli dua porsi tadi."
Bara membuka porsi ke dua, kemudian menyantapnya dengan lahap hingga habis.
Humaira beranjak pergi dari kursinya, dan kembali dengan membawa dua gelas air putih.
"Maaf, ya. Cuma ada ini."
"Gak papa."
Bara meneguk air putih yang telah disediakan Humaira.
"Alhamdulillaahirobbil'aalamiin, kenyang."
"Bara."
"Ya?"
"Thanks ya, udah mau repot-repot datang bawa makanan ke sini."
"Sama-sama. Oya, boleh aku bantu kamu?"
"Bantu?"
"Ya, bantuin kamu. Anton juga bisa, masa aku gak bisa?"
Spontan, Humaira tertawa mendengar ucapan Bara.
"Oke ... kau boleh membantuku. Tapi jangan membuatku gerogi, ya!"
"Siap, Tuan Putri."
***
Maaf, sedikit 🙏
Next Part bakal ada pernikahan ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
Ficção Geralaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....