'Titik terang'

3.5K 186 6
                                    


Pov. Humaira

(Bismillahirrahmanirrahim, selamat membaca 😊)

Dadaku sesak, mengingat kejadian kelam empat tahun kebelakang.
Dan ... masih berlangsung hingga saat ini.
Aku lelah, Tuhan.
Empat tahun terkurung dalam lingkaran setan yang terkutuk.
Lebih baik aku mati bunuh diri daripada terus seperti ini, hidup sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang.

Aku berdiri, mencari barang apapun yang bisa kupakai untuk mengakhiri hidupku.

'Sial, tak ada tali atau satupun benda tajam di kamar ini. hanya ada sendok, garfu, piring, dan ... gelas? Oke, gelas bisa menjadi alternatif benda tajam yang bisa kujadikan pisau untuk memutus urat nadi di lengan ku.
Aku harus cepat, sebelum tamuku datang dan memasuki kamar. Bisa gagal usaha bunuh diriku'

Tok! Tok! Tok!

'Sial! Firasatku benar adanya. Seseorang telah datang'

Praaaaaaaang..!

'Semoga suara pecahan gelas ini tidak sampai terdengar ke luar'

Tok! Tok! Tok!

Lagi, seseorang itu terus mengetuk pintu kamarku.

'Pecahan yang paling besar ... kemana dia larinya?'

Aku memposisikan tubuhku untuk jongkok, mencari pecahan beling yang bisa kupakai untuk bunuh diri.

Tok! Tok! Tok!
Ke tiga kalinya, pintu kamar diketuk.

'Maafkan aku, Ibu ... Ayah ... terlalu lama Ira menunggu kematian, Ira tak sanggup terus berada di sini, Ira ingin segera bertemu dengan Ibu dan Ayah, tak ada gunanya Ira hidup, hanya dosa  yang terus Ira lakukan. Tunggu Ira, Bu, Yah, Ira datang ....'

Braaaaak ...!!!
Pintu kamar berhasil didobrak.
Seorang pria tinggi, putih, tegap, berlari ke arahku.
Namun semuanya terlambat ... lantai yang putih telah bersimbah darah.
Aku terkulai lemas tak berdaya, meski aku masih sadarkan diri dan menahan sakit di pergelangan tanganku ....

***

Semua terasa gelap.
Aku seperti berada di dalam suatu ruang kosong, terbang melayang, seorang diri ....

'Dimana ini? Apakah aku sudah mati? Dimana Ayah dan Ibu? Tempat apakah ini?'

"Ayah...! Ibu...! Kalian dimana...? Ira datang..."

Sunyi, sepi ... tak ada jawaban ....

'Apakah aku benar-benar telah mati? Mengapa semuanya terasa dingin dan gelap?'

Perasaan takut mulai menghampiri, mengapa tak ada Ayah dan Ibu di sini?

Perlahan ... setitik cahaya itu datang, ia sangat kecil, namun kemudian membesar, sampai tak ada ruang gelap yang tersisa.
Kudapati sosok pria menghampiriku.

'Siapa, dia?'

Sosok pria tampan, tinggi, putih, mengulurkan tangannya kepadaku.

"Belum saatnya kau pulang. Kembalilah! aku akan membantumu pergi dari sini," ucap seorang pria yang kini berdiri tegap dihadapanku.

"Siapa, kau?" tanyaku.

"Kelak kau akan mengetahuinya. Kemarilah! Genggam tanganku. Akan kuperlihatkan jalan untuk pulang."

"Tidak! Aku tak ingin pulang! Aku ingin mati saja, dan bertemu dengan kedua orang tuaku." aku menepis lengannya dengan keras.

"Apa kau tahu, dimana orang tuamu?"

Ia melayangkan pertanyaan yang tak bisa aku jawab.

"Sebenarnya siapa kau? Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

"Ikutlah denganku! Kau akan segera mengetahuinya."

Pria itu mengulurkan tangannya kembali.
Namun, aku kembali terdiam.

'Apa aku bisa bertemu dengan Ayah dan Ibu?'

"Apa kau bisa mengantarkan aku kepada orang tuaku?" tanyaku.

"Tidak, tapi aku bisa menemanimu memperbaiki keadaan. Agar kedua orang tuamu tidak merasa sedih. Pulanglah, bersamaku!
Waktumu hanya tinggal sedikit." bujuknya.

Kusambut uluran tangan itu, dan sekejap aku merasa melesat jauh, pergi ke dimensi lain.

Aku terhenyak, bagai terbangun dari mimpi.
Mataku terbuka lebar, dan memandang kehidupan yang aku kenal.

Kepalaku terasa pusing, lengan kiri ku sakit, nampak beberapa peralatan medis terpasang di tubuhku.
Aku mendapati seorang suster sedang memeriksa alat infus yang menggelantung di dekatku.

"Apa ini di rumah sakit?"

"Mbak, sudah sadar? Syukurlah ... saya panggilkan dokter dahulu, ya! Mbak sebaiknya istirahat, jangan banyak bergerak dulu."
suster itu langsung ke luar ruangan, meninggalkanku.

Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan seorang dokter pria berjanggut dan berkumis tipis.

Dari bibir pintu, dokter itu sudah melempar senyum ke arahku.

'Sepertinya ... aku mengenali senyum itu ....'

"Hai, Huma? Bagaimana, sudah baikan?" Tanya sosok tampan di hadapanku.

"Anton?"

"Ya, senang bertemu denganmu lagi, Humairaku."

-----Bersambung----

HumairakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang