Pov. Humaira"Kenapa kau menangis, Humaira?" Bara menatap tajam ke arahku.
"Bisakah kau antarkan aku kembali ke kamar? Aku ingin istirahat." pintaku.
Aku dan Bara saling kenal sekitar beberapa jam yang lalu.
Tak mungkin aku langsung menceritakan semuanya kepada Bara."Baiklah, kuantar kau kembali ke kamar."
Didorongnya kursi rodaku, dan kami berdua kembali menuju kamar pasien."Aku harus kembali bekerja, bisakah aku meninggalkanmu di sini?"
"Aku terbiasa sendiri, pergilah."
Entah mengapa, ada rasa sedih terlintas ketika aku mendengar Bara hendak pergi meninggalkanku, padahal aku dan dia bukanlah siapa-siapa.
"Suster, tolong jaga istri saya, ya! Ini kartu nama saya, jika terjadi sesuatu, tolong cepat kabari saya, jangan sampai dia ngambek lagi seperti pagi tadi,"
Bara, lelaki cuek dan tegas, ternyata mampu membuat lelucon garing seperti itu."Baik, Pak." jawab seorang suster, yang bertugas merawatku hari ini.
"Jaga diri baik-baik ya, Sayang. Pulang kerja aku segera kembali."
Bara membenahi selimut dan mengusap-usap kepalaku, kemudian pamit pergi.
'Huft ... sendiri lagi'
Selimut ini terasa hangat, sehangat perhatian Bara kepadaku.
'Haish! Apalah aku ini? Mengapa aku selalu memikirkan Bara, Bara, dan Bara? Dia itu bukan siapa-siapa aku, tak jelas asal-usulnya, mengapa dia tiba-tiba muncul menjadi penyelamat hidupku, dan berniat untuk mengeluarkan aku dari lingkaran seta itu.
Yang jelas ... aku telah berhutang nyawa kepadanya.
Karena dia ... aku mempunyai kesempatan menata hidup yang baru, meski masih belum terlihat seberapa persen peluang keberhasilannya."Bu Nabil, bisa saya tinggal sebentar? Ada yang membutuhkan bantuan saya, di kamar lain." tanya suster.
"Iya, silakan, Sus. Saya juga mau istirahat, tidur."
"Baiklah, saya pamit keluar dulu, Bu. Permisi."
"Iya, silakan."
'Sendiri lagi'
Dua kata yang tak asing dalam hidupku.
Kucoba memejamkan kedua mataku, berharap waktu terus berputar dengan cepat.
Aku tak sabar menanti Bara kembali menemaniku.
Banyak hal yang harus ku tanyakan kepadanya.
Terutama, bagaimana caranya agar ia bisa melepaskanku dari jeratan mucikari kelas kakap di kota ini.Efek obat yang telah kuminum pagi tadi mulai terasa, kantuk yang berat terus menggelayuti kedua mataku.
Tak terasa dalam hitungan menit, akupun terlelap.---
Udara dingin yang kurasakan pagi tadi telah berubah menjadi panas, membuat aku segera terjaga dari tidurku.
Aku membentangkan kedua tanganku, menggeliat bebas dan menguap semauku.
Merasakan kenikmatan beristirahat meski hanya untuk sesaat.Ketika aku membalikan tubuhku ....
"Sudah, tidurnya?"
"Astaga!!! Sejak kapan kau di sini!? Sedang apa kau?"
Seorang pria sudah berada di samping ranjangku, duduk dengan tangan menyanggah kepalanya, tersenyum."Kenapa? Gerah, ya? Aku perhatikan dari tadi ... kau berkeringat. Biar ku hidupkan AC-nya."
"Ngapain kamu di sini? Memangnya kamu gak ada kerjaan? Ngagetin orang aja! Gak baik, tahu, masuk-masuk ruangan orang tanpa izin! Apalagi mandangin orang sedang tidur! Gak sopan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
Fiksi Umumaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....