'Tunggu aku, Ira, aku datang membawa surprise untukmu,'
Bara menyetir mobil sambil memandangi kotak cincin berwarna merah yang ia siapkan untuk melamar wanita pujaan hatinya, Humaira.
'Tak sabar aku ingin melihat ekspresi wajahnya ketika tahu aku pulang dengan tiba-tiba,'
Hari ini adalah hari Minggu, hari dimana Ira libur bekerja.
Karena itu Bara sangat yakin jika wanitanya sedang di rumah, dan akan menyambutnya pulang dengan sebuah senyum.Ia matikan mesin mobil, dan berjalan membuka gerbang dengan perlahan.
'Jangan sampai Ira melihatku pulang'
Ia membuka gerbang dan masuk dengan berjalan kaki, ia biarkan mobilnya masih terparkir di depan rumah.
'Gordennya tertutup, apa Ira sedang pergi?'
Bara mencoba mendorong masuk engsel pintu, berharap ia bisa membukanya.
'Terkunci. Kemanakah Ira?'
Dengan cekatan Bara mengeluarkan gawai dari dalam saku celananya, dan coba menelepon.
'Tuuuut... tuuut... tuuuut!
Aktif, namun tak ada jawaban.
(Kau dimana?)
Centang dua, pesan Wattshap Bara telah terkirim, namun warna centang itu tak kunjung berubah menjadi biru, tanda pesannya belum di buka oleh Ira.
Kembali ia coba menelepon, namun hasilnya masih sama seperti sebelumnya, nihil.
'Kemana dia?'
Bara memutuskan untuk duduk dan menunggu.
Nyaris empat jam ia terus memandangi gawai dan mencoba menghubungi Ira.
Tapi hasilnya tetap sama, jangankan mendapat balasan, nomor Ira pun justru berubah tidak aktif.Bara mulai cemas, kemanakah Humaira?
Terlintas obrolan ia bersama Ira beberapa waktu yang lalu, bahwasannya jika Ira hendak pergi bekerja, ia selalu menyimpan kunci rumah di bawah pot yang menggantung di teras rumah Bara.
'Semoga saja ada'
Tepat sekali, Bara menemukan sebuah kunci rumah tersimpan di bawah pot yang tergantung di depan teras rumahnya.
Lekas, ia membuka pintu, dan menyalakan lampu.'Aku seperti disambut dengan hawa kesedihan'
Bergegas ia menuju kamar tidur, tempat dimana Humaira beristirahat dan terlelap.
Ceklek..!
'Kosong?'
'Sebenarnya kau pergi kemana, Ira? Mengapa kau tak mengangkat teleponku? Mengapa kau juga mengabaikan pesanku?'
Perlahan, ia menatap sekeliling kamar yang nampak aneh, ia baru tersadar, posisi kamarnya telah kembali seperti sediakala, saat dimana Humaira belum tinggal di rumahnya.
Pandangannya terlempar pada sebuah dinding, tempat dimana Ira selalu menggantungkan seragam kerjanya, namun saat ini dinding itu telah kosong, seperti sedia kala.
'Apa yang sedang terjadi?'
Hai, Tuan yang ada di seberang sana ....
di sini saya menunggumu ....
Saat harap itu masih ada, saat cinta itu mulai saya rasa ....
Akan tetapi, mengapa Tuan tega mengkhianati?
Mengapa Tuan telah dahulu berikan sakit itu saat kita sama sekali belum memulai kisah indah cinta kita?
Hai, Tuan yang kupikir adalah penyelamat yang sangat tulus ....
Tuan yang selalu mengelu-elukan indahnya sang bulan ....
Tuan yang selalu membuat bahagia hati yang telah mati ini ....
Terimakasih atas semuanya,
Terimakasih karena Tuan telah bersedia menjadi malam yang menemani sang bulan.
Terimakasih karena Tuan telah hidupkan kembali harapan saya atas masa depan yang Tuan katakan ....
Terimakasih karena telah menjadi bagian dari alasan saya bertahan ....
Terimakasih,
Terimakasih,
Terimakasih karena Tuan bersedia menjadi malam, kau tahu, sang bulan tak akan pernah terlihat bersinar ... jika malam tak datang menyapa ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
General Fictionaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....