Langit malam itu nampak mendung tak bercahaya, seolah mencerminkan suasana hati Humaira.
Ia gundah, gelisah.
Dadanya kembali sesak, membayangkan secarik tulisan yang menempel pada sebuah foto yang ia temui di kamar Bara.'Bulan itu bukanlah aku...' gumamnya lirih.
Kedua netra Humaira menatap ke langit-langit kamar kostnya. "Besok adalah hari terakhirku bekerja di toko bunga Oma, semoga ini menjadi keputusan yang terbaik."
Humaira mematikan lampu tidurnya dan memejamkan mata, kemudian terlelap.
***
Pagi telah tiba. Humaira telah sampai di tempat kerjanya, dan menghadap Oma Jeni.
"Yasudah, kalo itu emang sudah menjadi keputusan lu ulang, Huma. Meski sebetulnya oe sangat berharap masalah ini bisa lu atasi sendiri tanpa halus melepaskan pekeljaan ini, ha." Oma Jeni menarik nafasnya dalam-dalam. Nampak ia sedikit kecewa dengan keputusan Humaira untuk resign dari pekerjaannya. Namun, Oma Jeni pun tidak bisa menolak, ia tetap menghargai apa yang sudah menjadi keputusan Humaira.
"Terimakasih banyak, Oma. Saya sangat senang bekerja di sini, Oma Jeni sangat baik terhadap saya. Akan tetapi ... saya punya alasan yang kuat untuk berhenti. Jikalau saja ada cara lain, saya tidak ingin berhenti di sini, saya benar-benar mencintai pekerjaan ini, Oma. Semoga Oma mendapatkan pengganti saya yang jauh lebih baik," ujar Humaira sembari menundukkan pandangannya, berusaha menyembunyikan air matanya.
Ternyata ada sepasang telinga yang mendengarkan percakapan Humaira dan Oma Jeni dari balik pintu.
Ia tampak gelisah, setelah mengetahui jika Huma akan segera pergi.
Ia berlalu menjauhi kedua wanita yang masih duduk di kursi depan. Kecewa."Huma, tak ada masalah yang dapat selesai sendili jika lu olang pelgi, loh. Sebaiknya lu olang pikil-pikil lagi, hadapi masalah sebesar apapun ia datang, jangan lari." Oma Jeni mengusap-usap punggung Humaira.
"Yasudah, lu urus tanaman sepelti biasa. Oe mau istilahat di dalam. Nanti gaji lu olang bulan ini tetap oe kasih full. Kelja baik-baik, ya! Semangat! Hari terakhir." Ditepuknya pundak Humaira oleh Oma, kemudian ia berlalu meninggalkan gadis cantik itu.
***
Seperti biasa, Humaira mulai menyirami setiap tanaman bunga yang berada di hadapannya.
Sesekali ia terngiang nasihat oma Jeni, bahwasannya sebesar apapun masalah, harus tetap ia hadapi, jangan lari dari kenyataan.'Oma Jeni memang benar, andai aku tahu bagaimana caranya untuk tetap bertahan. Rasanya terlalu sulit untuk dijalani ....' lirih Humaira.
"Hey! Jika kau menyiramnya sembari melamun dan murung seperti itu, semua tanamannya akan mati. Rugi besar nanti omaku!"
Terdengar suara pria yang Humaira kenali, berteriak sambil mendekatinya."Sejak kapan kau di sini?" tanya Humaira.
"Berikan padaku!"
Tak menjawab pertanyaan Humaira, pria itu justru meminta sesuatu.
"Berikan apa?"
"Kau masih saja tak mengerti."
Humaira bingung. "Kau ini bicara apa? Aku sama sekali tak mengerti. Kau ingin aku memberikanmu apa?"
"Berikan kembali padaku senyumanmu itu! Senyuman yang biasa kudapatkan tanpa harus kuminta."
Humaira tak bergeming.
"Ayolah! Gara-gara kau, pagi ini terlihat mendung. Lihatlah! Mataharinya tak ingin menampakkan diri."
"Apa hubungannya denganku?" Humaira melirik ke arah pria yang berdiri disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
General Fictionaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....