Hati Bara nampak gelisah, apa yang sedang terjadi? Fikirannya terus menerus tentang rumah. Seolah alam bawah sadarnya menyuruh ia untuk segera pulang.
"Bara! Apa yang sedang kau pikirkan!?" Dengan lantang, suara Komandan Yonif, Syarif membuyarkan lamunan Bara.
"Sebentar lagi kita akan berhadapan dengan misi penting dan berbahaya! Konsentrasi!" Lanjutnya.
"Maaf, komandan. Bolehkah saya pulang sebentar?"
"Pulang? Dua jam lagi kita pergi, kau mau pulang?!"
"Sebentar saja, Komandan. Saya hanya memastikan keadaan istri saya baik-baik saja." Ujar Bara memohon.
"Ada apa ini?"
Dari arah belakang, terdengar suara jendral Soetoyo (atasan Bara) yang juga menjabat sebagai kepala badan Intelejen Negara, bertanya."Mohon maaf, jendral. Saya mohon dengan hormat, izinkan saya untuk pulang sebentar, saya hanya ingin memastikan keadaan istri saya. Saya tahu ini misi penting, saya berjanji akan kembali tepat waktu."
Jendral Soetoyo menatap tajam wajah Bara, "Jangan lebih dari enam puluh menit. Pergilah!"
"Siap, Jendral! Terimakasih."
Bergegas Bara keluar dari barisan, dan berlari pergi menuju parkiran, kemudian meluncur dengan mobilnya, menuju rumah.
Setibanya di rumah, ia kembali berlari, mengecek satu persatu seluruh ruangan, berharap pemilik senyuman manis itu masih ada dan menyapa nya seperti dulu. Namun na'as, Bara terlambat. Humaira telah pergi jauh entah kemana. Bara hanya menemukan sehelai surat dan Sebuah ponsel yang sengaja ditinggalkan Humaira diatas meja.
Dengan wajah yang resah dan bercucur keringat, Bara meraih surat tersebut dan membacanya.
'Kau benar, Ira. Hidup memang terasa begitu tidak adil. Aku harus menerima karma dari perbuatan Ayahku sendiri.'
Hatinya remuk, setelah ia membaca isi surat tersebut. Sesekali ia menggigit bibirnya, air matanya pun tak luput menetes ... wajahnya nanar.
Segera Bara mengambil secarik kertas dan pena, kemudian lengannya mulai menulis.
[Bismillahirrahmanirrahim, teruntuk istriku yang Soleha, sesungguhnya aku telah menduga perihal ini sebelum menikahimu. Aku sudah mencium terlibatnya Ayahku dengan kasus yang dulu pernah menimpa padamu. Aku bahkan mengumpulkan bukti-bukti yang hampir 90% mengarah kepada Ayah. Namun, aku tak menyangka sama sekali jika ia benar-benar melakukannya kepadamu.
Aku mencoba untuk tetap mempercayai Ayahku, dengan menyebutnya sebagai pria hebat dan setia, sesungguhnya aku hanya sedang menghibur diriku sendiri. Aku terlalu takut akan kenyataan.
Aku hanya bisa diam, tak mungkin aku bertanya langsung kepadamu mengenai hal ini. Maka aku memilih untuk menunggu, aku menunggumu untuk mengucapkannya langsung kepadaku. Namun hal itu pun tak kunjung kau lakukan.
Humaira, tak hanya dirimu yang terluka di posisi ini, hatiku pun hancur. Aku malu dan kecewa, aku bahkan tak berani membayangkan wajahmu yang tak berdosa, menangis ... merintih kesakitan ... ya Allah! Ampuni dosa orang tuaku.
Istriku, jika nanti kau kembali dan membaca surat ini, dan aku belum juga pulang, itu tandanya tugasku belum selesai. Aku dikirimkan ke Lebanon untuk misi perdamaian selama setahun kedepan.
Aku meminta maaf dan keridhoanmu, doakan aku agar selalu sehat di sana, dan bisa pulang kembali dengan keadaan selamat.
Aku pun sangat berharap, saat aku pulang nanti ... ada kamu berdiri menanti bersama para istri pasukan lainnya.
Memancarkan senyum bahagia menyambut kepulanganku.
Oya, satu hal lagi. Jangan pernah kau tinggalkan lagi ponselmu. Karena bisa saja suatu saat yang tak terduga aku akan menghubungimu ke nomor ini.
Aku pergi dulu, Sayang. Jaga kesehatanmu. Semoga Allah selalu merahmatimu. Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humairaku
General Fictionaku hanya bisa merutuki takdirku, mencaci Tuhanku, mengapa semua terjadi seperti ini...? masa depanku hancur, impianku telah sirna ....